Selama beberapa hari saya berkesempatan untuk menginap di Desa Jombok Kecamatan Pule, ditemani oleh 5 orang kawan, yang satu di antaranya berasal dari Jawa Barat. Perkenalan kami tentu bukan tanpa sengaja. Jauh-jauh hari sebelumnya, NGO Inisiatif mengirimkan beberapa agen terbaiknya untuk menularkan ilmu anggaran kepada muda-mudi Trenggalek. Tujuannya untuk memberikan pemahaman serta skill analisis anggaran, baik anggaran yang ada di desa maupun kabupaten. Mereka (para agen ini) menamai program ini dengan “Sekolah Politik Anggaran” atau disingkat SEPOLA.
Oh ya, perkenalkan, nama saya Trigus D. Susilo. Saya salah seorang pemuda kelahiran Trenggalek yang direkrut untuk mengikuti SEPOLA bersama 19 orang lainnya. SEPOLA yang saya ikuti pertama adalah dengan target untuk anggaran kabupaten, hingga pada akhirnya, Lembaga Inisiatif memutuskan untuk menambahkan lagi porsi materi dan skill yang harus kami terima. Jika semula kami hanya dilatih menjadi tim analis, baru beberapa minggu kemudian kami dilatih menjadi seorang trainer, dengan konsentrasi target “bagaimana cara menjadi fasilitator yang baik”. Sayangnya, kami tidak lagi ber-20-an, namun hanya diberangkatkan 10 orang saja. Bukan karena jebolan terbaik namun hanya bagi mereka yang mau.
Nah, dari situlah akhirnya saya dan ke-4 teman lain, ditambah seorang wanita dari Negeri Parahyangan (Kota Bandung) bernama Bu Wulan, tiba di Desa Jombok Kecamatan Pule, untuk mengemban misi “Sekolah Politik Anggaran Desa” sekaligus sebagai praktik keilmuan yang telah kami dapatkan. Berbekal keilmuan yang belum “terlalu matang” serta belum pernah teruji di depan publik, saya hanya khusnudzon, bahwasanya segala sesuatu itu berjalan dan berkembang sesuai rencana apabila dilakukan, toh, ada salah satu agen perubahan dari lembaga Inisiatif yang membimbing kami.
Tujuan SEPOLA di Desa Jombok ini untuk sharing pemahaman kepada kepala desa, perangkat desa, BPD, LPM dan masyarakat desa mengenai hak-hak serta kewajiban mereka terhadap desa. Hak-hak masyarakat desa partikelir ini telah diatur sebagai kewenangan melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jelas sekali bahwa melalui UU tersebut, pemerintah pusat telah “mengembalikan” kewenangan desa untuk mengatur dan mengelola potensi desa. Oh ya, meski sudah diberi kewenangan, bukan berarti desa bebas tanpa batas menjalankan roda pemerintahan. Namun meski demikian desa bukan lagi menjadi obyek pembangunan pemerintah pusat, melainkan telah bermetamorfosis menjadi subyek pembangunan desa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa desa merupakan bentuk dari masyarakat itu sendiri. Desa merupakan representatif pemikiran dari penghuninya. Oleh karenanya kita dapat melihat keotentikan desa mesti berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Tak terkecuali dengan Desa Jombok.
Desa Jombok, adalah salah satu desa di Kecamatan Pule, memiliki 5 dusun dan terbagi menjadi 57 RT. Sebagian besar penduduknya berada di dataran tinggi. Ketika baru menjejakkan kaki di sini, hawa dingin menyambut dengan tegas, menunjukkan bahwa Desa Jombok tak sehangat Kecamatan Trenggalek.
Saya mejadi teringat akan pernyataan seorang teman bernama Ajar Sidik, salah satu pemuda asli Jombok dan juga trainer SEPOLA Desa. Ia mengakui jika, “Kualitas udara di desaku ternyata lebih segar ketimbang di sini”. Itu ia ungkapkan ketika seminggu berada di Kecamatan Trenggalek. Dan kini aku mengakuinya. Hawa dingin kerap sekali membuatku masuk angin.
Dataran tinggi dan hawa dingin, sepertinya menjadi hal tak terpisahkan, namun membawa kesuburan bagi tanah di sini. Tak heran jika buah naga tumbuh subur melingkari tiang-tiang penyangga. Dalam hati saya membatin, ada potensi besar tersimpan di Desa Jombok, yang mungkin sudah disadari atau belum oleh penduduknya. Namun, misi saya di Desa Jombok bukan untuk membuka lahan pertanian buah naga, namun untuk membagi pengetahuan mengenai politik anggaran. Dengan pengetahuan ini harapannya adalah untuk memberikan penyadaran terkait peran masyarakat dalam mengelola desanya.
Sekolah politik anggaran di Desa Jombok, dimulai pada hari Jumat, tanggal 19 Mei 2017, berlokasi di ruang aula Kantor Desa Jombok. Ajar Shidiq sebagai CO (Community Organizer) jauh-jauh hari sudah menyiapkan siapa peserta yang diundang dalam sekolah anggaran ini.
Dan di malam sebelumnya, saat kami berdiskusi mengenai bagaimana acara hari ini dijalankan, Ajar memberikan informasi peserta yang diundang, di antaranya Anggota BPD, Kepala Dusun, Perangkat Desa, Jurnalis warga, wakil dari difabel, karang taruna dan perempuan. Secara kepesertaan, saya yakin ini sudah sepenuhnya memakai azas keterwakilan. Namun, apakah mereka bisa disatukan dalam satu forum dengan cair, mengingat secara umum, perangkat desa selalu diposisikan sebagai pihak dominan ketimbang masyarakat yang lebih terbiasa instruktif. Dan malam saat kami diskusi, sedikitpun Ajar Shidiq tidak memberi informasi mengenai karakter masing-masing dari peserta.
Tim fasilitator dalam menfasilitasi sebuah forum dengan membawa misi perubahan perlu mengenali karakter setiap peserta. Tujuannya, supaya lebih mudah mengendalikan forum agar tak sampai didominasi oleh sebagian orang saja. Dan juga, supaya fasilitator bisa mengukur apakah apa yang telah ia sampaikan benar-benar terserap dan bisa dikatakan berhasil. Ini lebih baik ketimbang hanya datang pada sebuah forum hanya untuk menjalankan program saja. Dan setelah semua usai, usai juga proses fasilitasinya. Tentu yang akan mengalami traumatik adalah penduduk desa itu sendiri, seperti halnya Desa Jombok.
Hari pertama saat di acara pembukaan, kami banyak menyaksikan masyarakat, karang taruna, wanita dan seorang difabel belum enjoy dalam berpartisipasi. Efeknya, forum masih dikuasai oleh beberapa orang saja, misalnya kepala dusun paling senior, dan perangkat desa. Perkenalan pertama dan didukung belum ketemunya chemistry antara yang diundang dan yang mengundang membuat forum di hari pertama seakan dingin, penuh curiga. Upaya ajakan dari kasun untuk memberikan jawaban satu suara, merupakan bukti bahwa hari pertama ini kami sebagai fasilitator belum mampu mengendalikan forum dengan baik.
Contoh dari dominasi dari kasun ini adalah, ketika kami memberikan pertanyaan untuk ditulis masing masing peserta yang berisi pertanyaan “Apa kesan Anda selama hidup di Desa Jombok?”, salah seorang tersebut mengucapkan jawabannya dengan sedikit keras, bunyinya “Aman, baik dan tentram, pokoke gitu saja”. Kendati demikian, sebagian masyarakat tetap menuliskan kesannya sesuai apa yang ia rasakan, seperti “jalan rusak, cari uang susah, dan lain-lain”. Kami mengarahkan peserta untuk menulis jawaban di kertas, supaya tidak terjadi gejolak prasangka di hari pertama ini, mengingat, kami masih lama berada di Desa Jombok.
Malam harinya, kami berdiskusi kembali, sembari mengevaluasi kegiatan di hari pertama, meski ada poin-poin memuaskan dari fasiltasi kami, namun ada beberapa catatan khusus perihal ketidakcairan forum tadi. Saya, langsung mengumpati Ajar dengan bahasa akrab “edan koe Jar, kenapa tidak menginformasikan kondisi peserta forum kita”. Di situlah Ajar mulai menjelaskan bahwa ia menyengaja tidak memberikan informasi karakter serta agenda perpolitikan para kasun kepada tim fasilitator, supaya semua dapat belajar secara langsung dan mengenali setiap mereka.
Adib menambahi penilaiannya mengenai materi tadi siang, Arum sesekali nyengir sambil menimpali jika ada yang memberi masukan kepadanya, karena hari pertama, Arumlah yang memberikan materi. Sedangkan Zamzam yang malam itu duduk berdempetan dengan Arum sesekali bersuara dan sesekali mengangguk saja. Diskusi malam itu langsung diarahkan oleh Bu Wulan. Beliau sesekali memancing tim dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya, bagi saya ia sudah mengetahuinya.
Kami sangat merasakan bahwa forum benar-benar cair saat kami memberikan materi sketsa dusun. Materi ini memaksa peserta untuk memetakan potensi potensi dusun baik potensi pertanian, peternakan dan potensi alam, melakukan listing pada masalah-masalah yang banyak dijumpai di setiap dusun misalnya masalah kemiskinan, dan membuat usulan-usulan bagus untuk memecahkan masalah tersebut.
Kami menyaksikan proses aspirasi dan partisipasi antara warga dan kepala dusunnya sungguh kental. Maka tak heran, jika desa memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah. Yakni dengan menghidupkan kembali musyawarah-musyawarah desa, melibatkan masyarakat untuk guyub rukun menyonsong pembangunan desa.
Setidaknya dari 7 hari kegiatan di Desa Jombok, ada beberapa catatan penulis mengenai dampak dari kegiatan sekolah politik anggaran serta perubahan yang terjadi:
- Saat memasuki hari pertama, belum terjadi sinkronisasi dan persamaan persepsi mengenai SEPOLA. Perangkat desa yang didomininasi kepala dusun masih belum terlalu terbuka saat membicarakan masalah desa. Sedangkan BPD sudah melakukan kritik kepada perangkat desa. Hal ini disebabkan karena peserta belum memahami makna desa membangun dan kewenangan berskala desa. Sedangkan perempuan, karangtaruna dan warga berkebutuhan khusus masih belum bersuara.
- Peserta menjadi cair setelah memasuki H2 dan H3. Tim melakukan fasilitasi yang tidak terlalu membuka ruang perselisihan yang bisa menyebabkan ewuh pakewuh antara perangkat desa dan warga desa. Tim memfasilitasi peserta untuk memetakan masalah, potensi desa dan usulan-usulan warga terkait pembangunan.
- Memasuki H4, H5 dan H6 proses dialog berjalan lancar, proses penyampaian aspirasi masyarakat bisa langsung dijawab oleh perangkat dengan gamblang. Tim mengarahkan peserta untuk menyusun skesta dusun dan pemetaan masalah serta potensi yang ada di masing-masing dusun. Hingga acara selesai, peserta SEPOLA Desa Jombok memiliki dokumentasi pemetaan potensi yang bisa dijadikan bekal dalam musyawarah dusun dan musyawarah desa.
- Peserta menyepakati: 1] Membentuk tim 11 yang anggotanya dari peserta SEPOLA Desa. 2] Bagi dusun yang sudah melakukan musdus, siap untuk mengulang musdusnya dengan harapan bisa menyerap aspirasi warga lebih banyak, kesadaran ini terbangun setelah perangkat menyadari kekurangan-kekurangan saat melakukan musdus. 3] Tim fasilitator melanjutkan tugas mendampingi musdus. 4] Peserta siap mengawal anggaran desa untuk lebih memperhatikan anggaran yang pro gender, pro poor, dan berpihak pada masyarakat berkebutuhan khusus. Selain itu proporsi belanja untuk pengembangan masyarakat akan lebih diperhatikan.
- Peserta siap untuk mengawal dana desa untuk kemajuan Desa Jombok. Kesepakatan tak tertulis ini disepakati antara warga dan perangkat yang memang menjadi peserta SEPOLA.
Sampai di sini, apa yang telah mejadi cita-cita tim fasilitator untuk memberikan wawasan kepada masyarakat desa melalui kegiatan Sekolah Politik Anggaran desa sudah cukup memuaskan, meskipun apa yang telah menjadi kesepakatan baik tersebut harus tetap dikawal.
Desa selalu memiliki kekayaan budaya serta adat istiadat yang berbeda antara desa satu dengan desa lainnya. Ini merupakan ciri yang dapat memberi karakter bagi desa sendiri. Untuk itu, sudah selayaknya semua orang, di manapun berada, yang merasa bahwa dia hidup di desa, melakukan penjagaan terhadap local wisdom, supaya kita dapat memberikan warisan budaya kepada anak cucu kelak dan supaya mereka tahu bahwa, kita sejak lama adalah homo sapiens yang tak pernah bisa hidup tanpa kebersamaan. Jayalah Desaku.