Pemilu 2014 lalu telah berhasil melahirkan rezim baru di negeri ini. Di jajaran eksekutif, Jokowi-JK telah berhasil membentuk barisan kabinet yang didominasi oleh menteri dari kalangan partai. Demikian juga di lembaga-lembaga negara lainnya, seperti BPK, MA dan MK. Pimpinan KPK pun tidak luput dari incaran partai politik.
Kabinet Kerja yang digembar-gemborkan sebelumnya akan diisi dari kalangan profesional ternyata tidak terbukti. Sampai dengan sekarang, kesan tidak solid tampak mengemuka terjadi di antara para menteri di kabinet. Sering terjadi perbedaan pendapat dan pemahaman di antara para menteri ketika merespon satu kasus atau kebijakan yang diambil. Mulai dari kebijakan tentang Kartu Indonesia (Sehat, Pintar dan Sejahtera), hingga yang terbaru kasus perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
Tidak sedikit pula terdapat beberapa menteri yang bekerja di luar tugas utamanya. Kiprah Menteri PAN-RB dan Menteri PMK yang kentara terlihat jelas sering “off track”.
Namun demikian, ada pula beberapa kementerian yang menunjukan kinerja yang baik dan progresif. Sebut saja Kementerian Perikanan yang dianggap melahirkan beberapa kebijakan terobosan. Kebijakan tersebut di antaranya melakukan moratorium izin kapal tangkap, pelarangan bongkar muat di tengah laut, sampai menindak tegas para pelaku illegal fishing. Kebijakan tersebut tentunya tidak terlepas dari gaya kepemimpinan Susi Pudjiastuti yang lugas dan berani.
Kemenangan PDIP dalam Pileg 2014 ternyata tidak tercermin pada dominasi partai tersebut — dan koalisinya saat Pilpres 2014 — di parlemen. Seluruh pimpinan MPR dan DPR malah diborong oleh partai-partai yang berasal dari barisan Koalisi Merah Putih sebagai lawan politiknya dalam Pilpres lalu.
Pada awalnya, polarisasi dua kutub politik ini sangat terasa saat proses pengambilan keputusan di parlemen, seperti yang terjadi pada saat pembahasan dan penetapan RUU Pilkada dan RUU APBNP 2015 dan APBN 2016. Namun polarisasi ini hanyalah sandiwara yang dipertontonkan kepada rakyat oleh media massa. Di balik semua itu ternyata yang terjadi dibelakang layar adalah penyatuan kekuatan oligarkis seperti terjadi di masa lalu meskipun dengan dibumbui oleh adegan “seolah-olah” pertengkaran di antara anggota parlemen. Saat ini, drama sidang MKD tentang penyelidikan kasus penyadapan percakapan MS-MR-SN menjadi satu hiburan tersendiri bagi rakyat.
Potret Kebijakan Pembangunan Rezim Baru
Terlepas dari dinamika di atas, menarik untuk mencermati bagaimana sumber daya negeri ini akan dikelola oleh rezim berkuasa saat ini untuk permasalahan bangsa dalam lima tahun masa pemerintahannya. Permasalahan bangsa sebagaimana yang diuraikan dalam dokumen RPJMN 2015-2019 adalah: (1) merosotnya kewibawaan negara, (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa”. Tiga masalah pokok bangsa tersebut akan diselesaikan oleh rezim pemerintah sekarang berbekal visi TRISAKTI dan sembilan agenda prioritas pembangunan nasional (NAWACITA). NAWACITA akan dilaksanakan dengan menerapkan strategi pembangunan nasional yang menggariskan hal-hal terkait norma pembangunan, dimensi pembangunan (Dimensi Pembangunan Manusia dan Masyarakat, Dimensi Pembangunan Sector Unggulan dengan Prioritas serta Dimensi Pemerataan dan Kewilayahan), kondisi yang dibutuhkan sebagai prasyarat pembangunan yang berkualitas serta quick wins.
Untuk mengejar sasaran target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% seperti yang telah direncanakan dalam RPJMN dan melaksanakan NAWACITA, pemerintah menetapkan kebutuhan investasi untuk kurun waktu 2015-2019 adalah sebesar Rp. 26.557,9 Trilyun yang terdiri dari Kebutuhan Investasi Pemerintah (15,2%) dan Kebutuhan Investasi Masyarakat (84,8%).
Kebutuhan investasi tersebut akan ditutup dari sumber pembiayaan Tabungan Dalam Negeri-Pemerintah (4,6%), Tabungan Dalam Negeri-Masyarakat (89,3%) dan Tabungan Luar Negeri (6%). Sumber pembiayaan investasi masyarakat terdiri dari kredit perbankan (25,3%), aliran modal luar negeri (18,1%), penerbitan saham (3,3%), penerbitan obligasi (15,5%) dan dana internal masyarakat (38%).
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa kemampuan pemerintah sangat kecil dalam membiayai kebutuhan investasi yang mereka rencanakan sendiri. Sebagian besar sumber pembiayaan investasi mengandalkan dari dana masyarakat, kredit perbankan dan aliran modal dari luar negeri.
Jika cermati lebih jauh jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan sektor-sektor prioritas, kebutuhan dana untuk Peningkatan Sarana dan Prasarana Infrastruktur memiliki porsi anggaran terbesar yaitu mencapai rata-rata 41,6% setiap tahunnya. Sebagian besar kebutuhan anggaran tersebut digunakan untuk membiayai Peningkatan Konektivitas Nasional (rata-rata 68,3% setiap tahunnya).
Pada tabel di atas tampak bahwa total utang pemerintah selalu bertambah setiap tahunnya sejak tahun 2010. Pada tahun 2015, total utang pemerintah mencapai Rp. 3.005,52 Trilyun atau meningkat kurang lebih Rp. 400 Trilyun dari tahun 2014.
Saat ini, utang luar negeri Pemerintah Indonesia yang sedang berjalan mayoritas berasal dari Jepang, Bank Dunia dan ADB.
Utang tersebut mayoritas digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur serta pertahanan dan keamanan.
Jika dilihat ringkatan APBN di atas, pada RAPBN 2016 Pemerintah Indonesia direncanakan akan menambah pembiayaan dari utang negeri sebesar Rp. 1,2 Trilyun. Rincian rencana utang luar negeri pemerintah dalam RAPBN 2016 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Sementara itu dalam Buku Public Private Partnership 2015 yang diterbitkan oleh Bappenas, terdapat 38 proyek yang dikerjasamakan melalui skema PPP dengan total nilai proyek sebesar USD 23.546,85 Juta. Dari 38 proyek tersebut, 6 proyek siap ditawarkan untuk dikerjasamakan, 8 prospektif proyek dan 24 potensial proyek. Proyek-proyek tersebut terkait dengan sektor transportasi (kereta api, transportasi udara dan laut), air bersih dan sanitasi, jalan tol dan jembatan tol serta ketenagalistrikan.
Terdapat 22 proyek dalam Buku PPP 2013 yang sudah dan sedang dalam proses tender. 11 dari 22 proyek tersebut berupa pembangunan jalan tol.
Berdasarkan uraian di atas, rezim pemerintah saat ini tampaknya akan sama dengan rezim sebelumnya dalam menjalankan agenda pembangunan nasional. Pemerintah masih lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar dengan mengandalkan modal investasi dari swasta dan utang luar negeri, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi dan kemandirian ekonomi sesuai amanat konstitusi UUD 1945.
Kepemimpinan dan Kaderisasi
Saat ini, di alam demokrasi, negara Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi, krisis sistem dalam menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa karena peran negara semakin lemah dalam mengurus dan mengelola rakyat dan sumber daya alamnya. Negara dan kekuatan sosial rakyatnya telah dikalahkan oleh kekuatan oligarki, persekongkolan dan persekutuan antara penguasa dan pengusaha yang tumbuh di dalam karena cengkraman sistem ekonomi global yang rakus.
Meskipun reformasi sudah berjalan selama 18 tahun, transisi demokrasi sudah dilalui namun negara dan rakyat belum terbebas dari krisis itu sendiri. Salah satu krisis yang kita hadapi saat ini adalah krisis pengetahuan, gagasan perubahan/transformasi dan kepemimpinan baik di level nasional, daerah dan desa bahkan di rakyat itu sendiri. Krisis kepemimpinan juga dialami oleh peran aparatur negara baik di institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Proses politik untuk melahirkan pemimpin yang memihak pada rakyat pun telah dibajak oleh segelintir elit penguasa dan pengusaha. Proses politik elektoral di nasional dan daerah tidak menghasilkan perubahan dan perbaikan sistem yang membawa rakyat keluar dari krisis, namun semakin meneguhkan oligarki melanggengkan sistem ekonomi dan politik yang memihak pada penguasaan sumber daya dikuasai segelintir orang.
Di tingkat nasional semua tokoh politik, NGO, akademisi relatif tidak ada yang dipandang objektif dan netral. Semua sudah terpolarisasi dalam beragam kepentingan dan kutub-kutub politik.
Dalam opini publik yang berkembang, seakan-akan tidak ada tokoh yang baik. Setiap figur punya lawan politik yang satu sama lain saling melakukan pembunuhan karakter. Ada situasi dimana setiap orang punya kecenderungan untuk saling menghancurkan karena rivalitas politik. Hal ini membahayakan bagi kepemimpinan nasional. Karena nyaris tidak ada orang yang dianggap layak untuk menjadi pemimpin.
Ketiadaan tokoh yang baik tersebut coba ditutupi dengan lahirnya tokoh-tokoh yang populer (atau dibuat menjadi populer). Kondisi ini kentara terlihat di antara para kepala daerah yang berkuasa sekarang. Popularitas tersebut tercermin dalam sejumlah kebijakan “komestik” yang dibuatnya dan sejumlah penghargaan yang berhasil diraihnya. Kebijakan “kosmetik” tersebut adalah kebijakan yang secara kasat mata dapat dilihat perubahan nyata secara visual meskipun kadang jauh dari persoalan riil yang dihadapi masyarakat.
Di level kelas menengah tidak ada kelembagaan yang dipandang punya integritas dalam melakukan pendidikan politik. Lembaga-lembaga yang ada cenderung bekerja berdasarkan kepentingan (donor, politik, ekonomi).
Pengelolaan Pengetahuan di Organisasi Masyarakat Sipil
Tata pengelolaan pengetahuan organisasi dalam hal ini terkait mengenai kemajuan-kemajuan organisasi masyarakat sipil (NGO/CSO) dalam mengadaptasi kemajuan teknologi informasi untuk membuat terobosan-terobosan dalam memberikan pelayanan informasi publik seperti adanya Budget Info (FITRA), Index Persepsi Korupsi (ICW), kekerasan HAM (Elsam) yang secara penerapannya terletak dari bagaimana cara memperoleh data dan informasi terkini melalui pengumpulan dan akses informasi publik.
Selebihnya, pada tataran global yang mempengaruhi kalangan NGOs dalam mengadaptasi teknologi informasi di antaranya Open Government Partnership, yang menekankan tata kelola pengetahuan dan pengalaman para aktivis bukan hanya berbagi data, melainkan lebih pada berbagi pengalaman yang dipertukarkan ke dalam bentuk-bentuk buku, video dan tulisan praktik terbaik, hal serupa turut diikuti oleh GPSA milik World Bank Institute, dan juga TII.
Dari kedua kondisi tersebut, setiap organisasi sipil berupaya dan terus mengembangkan inovasinya dengan mengadaptasi kemajuan teknologi informasi, meski sepenuhnya keliru karena memandang pengelolaan pengetahuan organisasi sebatas pada ketersediaan data-data yang dapat dikuantifikasi dan distatistikkan, akan tetapi pengaruh perkembangan lembaga masyarakat sipil luar telah beralih pada pendekatan arus pengalaman, meski salurannya tetap mengadopsi teknologi informasi yang sangat dimungkinkan turut diadaptasi oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil di tataran nasional.
Dengan demikian, lembaga/organisasi masyarakat sipil kini tengah bersaing untuk mencari pembeda dalam melakukan terobosan-terobosan inovasi yang cenderung mengadaptasi kemajuan teknologi informasi untuk mempengaruhi khalayak umum, baik advokasi, kampanye, penggalangan dukungan sampai pada membangun jaringan media sosial agar dapat selalu berhubungan dengan kontak-kontak relasi/pendukungan di seluruh wilayah. Singkatnya, kini setiap lembaga pada dasarnya tengah berkompetisi menunjukkan kerja-kerjanya dan hasil kerjanya untuk disebarluaskan kepada masyarakat tentang kedudukan mereka.
Trending Issue
Pasca lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, isu desa menjadi hot issue di tingkat nasional. Banyak kementerian, NGO, lembaga donor dan akademisi menjadikan isu desa sebagai tema diskursus, advokasi dan praktik sebagai bagian dari upaya pengawalan atas implementasi UU tersebut.
Pada aspek kebijakan, UU ini tampaknya telah memecahkan record sebagai regulasi tercepat yang melahirkan sejumlah paket peraturan perundang-undangannya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun (2 peraturan pemerintah dan lebih dari 12 peraturan menteri).
Perhatian dari kalangan NGO juga tidak kalah luar biasa. Banyak NGO baik yang sebelumnya bergerak pada isu governance, perencanaan penganggaran, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup serta sektoral (tani, perempuan, nelayan, disabilitas, anak, dll) menjadikan pengawalan implementasi UU Desa sebagai agenda kerjanya.
Demikian halnya dengan lembaga donor. DFAT (Department of Foreign Affair and Trade-Australia) sebagai lembaga donor terbesar saat ini mengusung desa sebagai isu utama yang akan diintervensi dengan beragam pendekatan.
Di samping itu, terdapat beberapa isu lainnya yang dipandang masih relevan dan hangat di tingkat nasional di antaranya menyangkut; (i) kesehatan ibu dan anak serta program JKN, (ii) Implementasi UU Pemerintahan Daerah (iii) agraria, tata tuang, sumber daya air dan lingkungan hidup serta terkait dengan (iv) pemilu. Beberapa isu tersebut yang kiranya menarik dan menantang untuk direkam arus pengalaman para pelakunya yang dipadukan dengan arus aliran data dan informasi yang akurat untuk membangun roda pengelolaan pengetahuan organisasi yang dapat berjalan menerus.
Kesimpulan
Merujuk pada uraian di atas, terdapat beberapa isu strategis yang harus disikapi oleh Perkumpulan Inisiatif. Isu-isu strategis tersebut di antaranya: Pertama, praktek liberalisasi ekonomi yang menyengsarakan rakyat akan terus berlangsung. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tampaknya masih belum bisa terhindar dari kumparan sistem ekonomi kapitalis global.
Kedua, rezim penguasa yang popular yang semakin diminati. Harus diakui bahwa rezim pemerintah saat ini merupakan rezim yang cukup populer di mata khalayak. Setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakan apapun yang dibuat oleh rezim ini akan berpotensi mendapatkan antipati dari rakyat, apalagi dari rakyat yang menjadi pendukungnya. Untuk itu diperlukan strategi perlawanan yang tepat untuk mengimbangi popularitas yang dimilikinya.
Ketiga, krisis kepemimpinan nasional yang berasal dari aktivis gerakan rakyat. Krisis kepemimpinan yang dimaksud baik dalam bentuk kepemimpinan “orang” maupun “gagasan”. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa sekian banyak aktivis gerakan rakyat yang menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen tidak berhasil memproduksi berbagai kebijakan dan tindakan yang menguntungkan rakyat. Mereka seolah-olah tenggelam olah pusaran para oportunis di parlemen dan aparatur pemerintah. Demikian halnya pada aspek gagasan. Gagasan dan praktik genuine yang pro rakyat seakan tenggelam oleh gagasan-gagasan global yang mengatasnamakan pembelaan atas hak rakyat miskin dan marjinal.
Keempat, lemahnya pengelolaan sumber daya modal kemandirian rakyat. Sumber daya yang dimaksud terkait dengan pengetahuan, manusia, alam, sosial dan ekonomi yang dapat dijadikan sumber kekuatan bagi rakyat dan negara untuk mewujudkan kedaulatannya. Kondisi saat ini mempertegas bahwa lemahnya negara dan rakyat dalam mengelola sumberdayanya membuat negeri ini tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan rentan diekspolitasi oleh para pemodal.
Catatan : Wulandari dan Rizki Estrada ikut menyumbangkan bahan pada tulisan ini.