Pada era pemerintahan terbuka saat ini, seluruh pemerintah dan badan publik lainnya dituntut untuk membuka informasi publik yang dikuasainya –selama tidak termasuk kategori yang dikecualikan‐ sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tidak ada lagi alasan bagi badan publik untuk menutup informasi atau bahkan menolak permohonan informasi dari warga. Hal ini berlaku juga bagi badan publik yang ada di desa.
Namun pada kenyataannya, informasi publik yang dikuasai oleh badan publik di desa masih belum sepenuhnya terbuka dan masih sulit diakses oleh masyarakat desa. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, di antaranya keterbatasan pengetahunan badan publik di desa akan jenis, mekanisme dan prosedur pelayanan informasi publik bagi pemohon. Alasan lainnya adalah tidak baiknya pengarsipan dan pengelolaan informasi dan dokumentasi di desa.
Sengketa informasi publik merupakan pilihan yang “mahal” bagi warga desa ketika dihadapkan pada situasi badan publik yang tidak mau membuka dan memenuhi permintaan informasi publik yang dimohonkan oleh warga. Keberadaan kantor Komisi Informasi Daerah yang terletak di ibukota provinsi menyulitkan bagi sebagian besar warga desa untuk berkonsultasi dan menghadiri proses penyelesaian sengketa informasi yang dihadapinya. Ada inisiatif dari beberapa Komisi Informasi Daerah yang menyelenggarakan proses sengketa informasi di lokasi terdekat dengan pemohon dan termohon. Namun begitu tetap saja hal ini dirasakan masih belum efektif.
Di sisi lain, desa‐desa di Indonesia memiliki keragaman kekayaan pranata sosial yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan persoalan‐persoalan publik masyarakat desa. Pranata sosial ini berisi norma dan aturan yang terlembaga untuk mengatur tingkah laku dan kebiasaan masyarakat. Beberapa di antaranya terlembaga dalam aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan dihormati oleh seluruh pihak, termasuk pihak luar. Sebagian lainnya mengalami formalisasi berwujud lembaga‐lembaga adat.
Lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa didasari atas kehendak untuk menghormati dan menghargai berbagai pranata sosial yang sudah ada di desa. Penghormatan dan penghargaan ini dapat dilihat dari bagaimana undang‐undang ini mencoba menggabungkan pendekatan self-‐governing community dengan local self government sebagai satu kesatuan fungsi desa. Hal ini berarti bahwa dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, desa tidak semata merujuk pada struktur pranata kepemerintahan formal tetapi juga dapat mengakomodasi pranata sosial yang sudah berlaku dalam tata kelola pemerintahan di desa.
Satu pranata sosial yang banyak dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan diadopsi dalam UU Desa adalah musyawarah. Musyawarah adalah forum pengambilan keputusan publik yang sangat umum dipraktikkan dan dihormati keberadaannya di berbagai daerah. Itulah mengapa sila keempat Pancasila menempatkan musyawarah yang didasari hikmat kebijaksanaan adalah pranata pengambilan keputusan tertinggi bagi rakyat Indonesia.
Dalam UU Desa, dikenal berbagai istilah musyawarah. Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan tertinggi yang digunakan dalam pengambilan kebijakan publik di tingkat desa. Selain itu, terdapat pula Musyawarah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum permusyawaratan tertinggi bagi anggota BPD dalam pengambilan keputusan. BPD sendiri salah satunya berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta mengawasi kinerja kepala desa.
Musyawarah Desa dapat dilaksanakan kapanpun selama masyarakat desa melalui BPD dan kepala desa merasa perlu menyelenggarakannya untuk membahas dan menyepakati hal‐hal mendasar dan strategis yang berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh pada kehidupan di desa. Meskipun demikian, terdapat beberapa musyawarah “tematik” yang “diwajibkan” oleh aturan peundang‐undangan untuk diselenggarakan secara rutin. Sebagai contoh, musyawarah perencanaan pembangunan desa yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Terkait dengan keterbukaan informasi publik, Pasal 34 UU KIP menekankan pentingnya musyawarah sebagai media penyelesaian sengketa informasi publik antara pemohon dengan termohon. Pada praktiknya, musyarawah penyelesaian sengketa informasi ini dimediasi oleh Komisi Informasi. Jika musyawarah tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka berikutnya dapat diselesaikan melalui proses peradilan.
Uraian di atas menunjukan bahwa musyawarah menjadi salah satu pranata sosial yang ditempatkan pada posisi yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa informasi dan penyelenggaraan tata kelola desa di Indonesia. Penyelenggaraan tata kelola desa yang dimaksud termasuk pengelolaan dan pelayanan informasi publik di desa. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika musyawarah di desa ditempatkan pada posisi dan peran yang strategis dalam mendorong keterbukaan informasi publik di tingkat desa.
Optimalisasi posisi dan peran berbagai musyawarah di desa dapat dilakukan dengan cara: pertama, mendorong keterbukaan informasi publik di desa sebagai mandat warga –bukan semata mandat aturan perundang-undangan yang sepakati dalam Musyawarah Desa.
Kedua, memosisikan BPD sebagai media saluran aspirasi dan evaluasi masyarakat desa atas pengelolaan informasi publik di desa. Musyawarah BPD selayaknya juga membahas dan menyepakati hal‐hal strategis terkait pelayanan informasi di desa yang akan direkomendasikan kepada pemerintah desa sebagai landasan perbaikan penyelenggaraan pelayanan informasi oleh pemerintah desa.
Ketiga, memosisikan lembaga adat sebagai alat kontrol dan saluran strategis bagi masyarakat untuk memperjuangkan pemerintahan desa yang terbuka. Rekomendasi dari lembaga adat sangat dihormati oleh pemerintahan desa. Pada desa adat, pemerintahan desa adat dapat memperkuat fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa khususnya dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan desa yang terbuka.
Isu penting lainnya dalam mendorong keterbukaan informasi publik di desa adalah terkait dengan siapa pihak yang diberi tanggung jawab dalam pengelolaan informasi yang berperan sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di desa. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, sekretaris desa bertugas membantu kepala desa dalam bidang administrasi pemerintahan. Bidang administrasi pemerintahan yang dimaksud di antaranya terkait dengan urusan ketatausahaan dan berbagai urusan umum seperti penataan administrasi perangkat desa dan pelayanan umum.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, sekretaris desa dibantu oleh kepala urusan sebagai unsur staf sekretariat. Salah satu kepala urusan yang beririsan dengan pengelolaan informasi dan dokumentasi di desa adalah kepala urusan tata usaha dan umum yang bertanggung jawab di antaranya melaksanakan urusan ketatausahaan dan pelayanan umum.
Selain itu, terdapat pula kepala seksi yang berkedudukan sebagai unsur pelaksana teknis dan bertugas membantu kepala desa sebagai pelaksana tugas operasional. Terdapat dua kepala seksi yang beririsan dengan pelayanan informasi publik bagi masyarakat. Pertama, kepala seksi pelayanan yang bertanggung jawab di antaranya dalam hal melaksanakan penyuluhan dan motivasi terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat. Kedua, kepala seksi pemerintahan umum yang mempunyai fungsi melaksanakan tata praja pemerintahan.
Jika dicermati uraian tugas dan tanggung jawabnya, ketiga perangkat pemerintah desa tersebut salah satunya dapat berperan sebagai PPID pemerintah desa. Jika dibutuhkan, PPID pembantu dapat dibentuk pula di berbagai badan publik lainnya yang ada di desa, seperti BUMDesa, koperasi desa, dan lain‐lain.
Merujuk pada uraian-uraian di atas, keterbukaan informasi tampaknya menjadi keniscayaan untuk segera diimplementasikan di desa. Proses pengelolaan informasi publik selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan pranata sosial yang ada di desa. Penguatan posisi dan peran pranata sosial desa ini diharapkan dapat mempercepat praktik pelayanan informasi publik yang baik sekaligus dapat meminimalisir potensi terjadinya sengketa informasi di desa. Pranata sosial yang dapat dimanfaatkan adalah berbagai perangkat musyawarah dan kelembagaan adat yang ada di desa dapat digunakan sebagai forum permusyawaratan warga sekaligus sebagai media saluran aspirasi dan pengawasan warga desa terutama dalam hal pelayanan informasi.