Dalam Debat 3 Pemilihan Walikota Bandung 2018 yang berlangsung di Hotel Asrilia tanggal 14 Mei 2018 yang lalu, terdapat perbedaan pendapat yang menarik. Paslon (Pasangan Calon) No.1 Nurul Arifin mempertanyakan klaim dari Paslon No.2 untuk mengalokasikan 60% APBD sepenuhnya untuk rakyat. Nurul memiliki perhitungan lain, bahwa alokasi tersebut sampai sekarang (APBD 2018) hanya 30%. Bagaimana caranya untuk meningkatkan hingga dua kali lipat?
Sementara itu Yossi dari kubu Paslon 2 mengatakan bahwa sampai 2017 alokasi belanja untuk publik sudah mencapai 55%. Sebagai mantan Sekda Kota Bandung merangkap Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) pandangan Yossi Irianto tentu memiliki bobot tersendiri. Namun baiklah, kami akan uraikan postur APBD Kota Bandung sebagaimana adanya, berdasarkan dokumen yang sudah dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Keuangan (DJPK) Departemen Keuangan.
Struktur APBD
Seperti namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari 2 bagian, yaitu Pendapatan dan Belanja. Topik bahasan kita hanya berkenaan dengan belanjanya saja. Lazimnya, belanja daerah terdiri dari 2 bagian utama, yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. Yossi Irianto nampaknya beranggapan bahwa belanja langsung adalah belanja yang sepenuhnya diserahkan pemkot kepada rakyat.
Pernyataan Yossi, APBD tahun 2017 belanja langsung tersebut telah mencapai 55%, sementara belanja tidak-langsung (BTL) mencapai 45%. Namun, apakah dengan demikian perhitungan Nurul Arifin keliru? Belum tentu. Sebab, bila belanja langsung itu di-break-down maka akan terlihat sejumlah dana, yang ternyata tidak dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat langsung. Namun, kembali lagi atau dipergunakan oleh birokrasi pemerintahan kota.
Untuk membahas hal tersebut, saya uraikan “anatomi ringkasan” Belanja APBD Kota Bandung 2018 seperti tabel di bawah ini :
Pada tabel di atas terlihat bahwa dalam Belanja Langsung sebesar Rp. 3.964.468.968.445,- (54,8%) ada unsur Belanja Tetap SKPD atau Belanja Rutin, yaitu belanja untuk menjalankan kegiatan rutin organisasi sebesar Rp. 750.210.126.203,- (10,4%). Dana ini dipergunakan oleh Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin organisasi, seperti Belanja ATK, Bayar Listrik, Air, Makan Minum, Perjalanan Dinas, Pemeliharaan Gedung dan Kendaraan, Baju Dinas. Tentu saja penerima manfaat langsung adalah aparatur pemerintahan.
Ada juga Belanja SKPD untuk memberikan pelayanan ke masyarakat, yang disebut dengan Belanja Program/Kegiatan Pelayanan yang dikerjakan oleh SKPD. Apakah program/kegiatan ini dinikmati sepenuhnya oleh rakyat? Ternyata tidak. Sebab tidak seluruh dana untuk membiayai program/kegiatan tersebut dipergunakan untuk membiayai program-program pelayanan langsung ke masyarakat. Ada program yang bersifat penunjang, seperti program perencanaan tata ruang, program perencanaan pembangunan ekonomi, program penelitian dan pengembangan daerah dan program-program sejenis lainnya yang tidak memberikan pelayanan langsung ke masyarakat. Nilai program penunjang itu mencapai Rp. 1.040.568.015.620,- (14,4%).
Sehingga, alhasil hanya tersisa Rp. 2.173.690.826.622,- (30%) yang dipergunakan untuk membiayai sarana/prasarana dan aneka layanan publik, yang disebut program pelayanan publik atau program langsung pelayanan ke masyarakat. Jadi sesungguhnya dari total Belanja Daerah senilai Rp. 7,2 T hanya Rp. 2,2 T, atau hanya 30%, yang menjadi barang dan jasa yang dinikmati langsung oleh publik.
Dalam hal ini, pernyataan Nurul Arifin bahwa “hanya 30% APBD yang sepenuhnya dinikmati rakyat” tidaklah keliru. Karena dalam Belanja Langsung itu masih terdapat belanja-belanja yang “penikmatnya” adalah aparatur pemeritahan atau birokrasi.
Perlu Perubahan “Mindset”
Para birokrat dan politisi yang selama ini sudah terbiasa merumuskan APBD, merujuk ke nomenklatur yang berlaku saat ini (permendagri 13/2006). Menu belanja disajikan dengan istilah yang bisa menimbulkan kesalahan pemahaman di kacamata “awam”. Seperti istilah Belanja Langsung yang seakan-akan seluruh dananya untuk membiayai pelayanan publik langsung ke masyarakat. Padahal seperti yang saya uraikan di atas, ternyata tidak demikian. Maka, diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan paradigma berfikir bagi kalangan birokrasi dan politisi untuk hal tersebut. Perubahan paradigma atau mindset tersebut yang sedang dikembangkan oleh Nurul Arifin.
Pada umumnya birokrasi dan Anggota Dewan telah terlanjur menganggap bahwa Belanja Langsung itu sepenuhnya dinikmati oleh rakyat. Nurul Arifin menunjukkan bahwa mindset tersebut tidak sepenuhnya benar. Dengan kata lain, APBD Kota Bandung tidak bisa dikatakan telah memihak rakyat, kalau dibedah dengan pendekatan seperti di atas. Agar kita bisa menilai secara jujur tentang keberpihakan seorang kepala daerah kepada rakyatnya, maka cara menilainya harus merubah mindset. Dan perlu perubahan mindset untuk memahami bagaimana keberpihakan itu diimplementasikan.
Catatan : Tulisan ini sudah muncul sebelumnya di Jabar Ekspres Online. Lihat : https://jabarekspres.com/2018/mungkinkah-belanja-publik-60-persen/