Rabu, 3 Februari 2021, Desa Wajak Kidul diterpa hujan deras. Air sungai meluap, membanjiri jalan hingga ke rumah-rumah warga. Situasi ini tak terjadi sekali. Tiap tahun di setiap musim penghujan, banjir lalu-lalang. Kita bisa mengaksesnya lewat instagram geo_green.park, satu organ kemasyarakatan di desa tersebut, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Sebaliknya, kala kemarau, sumber air justru mengering dan masyarakat di bawah perbukitan Walikukun kesulitan mengaksesnya. Selama sekian tahun, Geogreen Park dan Pelestari Kawasan Wilis (Perkawis) secara swadaya membeli dan memasang pipa-pipa kecil guna mengalirkan air ke bawah, termasuk untuk keperluan situs: kebutuhan air di makam Eyang Cokro Kusuma. Mereka pun menanam tanaman bambu di tepian aliran sumber agar air tetap terjaga meski kemarau tiba.
“Rencana awal Geogreen Park itu mengembalikan lagi mata air. Dulu waktu saya kecil, air masih melimpah, lalu banyaknya penebangan liar (illegal logging) akhirnya sumber air makin dikit. Jadi teman-teman Geogreen Park itu bergerak terutama di penanaman bambu sebagai bentuk konservasi air,” terang Mahfud, anggota Geogreen Park.
Kerja-kerja semacam ini cukup menguras banyak waktu dan tenaga mengingat lahan hutan yang coba mereka selamatkan ialah milik perhutani. Lahan seluas 942 hektar itu masuk kawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Sanggrahan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kalidawir, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Blitar.
Tahun 2019, tim kami menemukan pohon-pohon yang sengaja dibakar bagian bawahnya. Hal ini menyebabkan daun-daun berguguran sehingga lahan menjadi tandus. Berdasarkan pengakuan Mulyono, perwakilan dari BKPH Kalidawir pada diseminasi 27 Januari lalu, pohon itu sengaja dibakar agar abu sisa pembakaran bisa memupuk rerumputan untuk tumbuh subur.
“Ada tanda larangan (untuk tidak membakar atau menebang; red). Memang tanaman tadi bila sudah besar semakin bagus, tapi humusnya berkurang, setelah dibakar akan tumbuh rumput, intinya di situ. Kalau sudah besar enggak mati, kecuali diobat, tapi balita di bawah usia lima tahun akan mati. Kalau sudah lima belas tahun lebih dibakar bawahnya, malah bagus pertumbuhannya,” jelasnya.
Pada Maret 2021, kami menyusuri kawasan RPH Sanggrahan. Bila dipandang dari jalan permukiman warga, tampak begitu lebat, hijau, penuh kemegahan eksotis khas alam. Lahan perbukitan tersebut disemayami aneka destinasi wisata: Goa Pasir, Goa Selomangkleng, Candi Dadi, Argo Pathok, Bukit Cilik, dan Bukit Budhek.
Kawasan itu meliputi delapan desa: Pagersari, Betak, Junjung, Wajakkidul, Sanggrahan, Pucung, Tanggung, dan Pojok. Terdapat tujuh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mengerjakan 72 ha lahan, yakni LMDH Wonoyoso desa Tanggung, LMDH Wonodadi desa Pojok, LMDH Sukojoyo desa Pucung Kidul, LMDH Subur Santoso desa Wajak Kidul, LMDH Asri desa Junjung, LMDH Wonobumi Rejeki, dan LMDH Wonotani Barokah.
Sekian luas lahan tadi hanya diurus oleh satu Mantri: Eko dan satu Mandor: Suprianto. Suprianto menjelaskan bahwa hutan produksi di sini khusus ditanami jati, sonokeling, mahoni, dan gmelina. Sedangkan tanaman yang cocok di hutan lindung adalah walikukun, cendana, jambu klutuk, tanaman jarak kepyar merah, dan kleresede,
Yansen, selaku ketua LMDH Subur Santoso desa Wajak Kidul mengaku bahwa lahan 21 Hektar yang digarapnya kini tidak pernah berproduksi. Mayoritas tanaman yang ada ialah pohon jati berusia 5-15 tahun dan kayu putih sebagai tanaman produksi yang belum pernah dimanfaatkan. Hal demikian dirasai oleh Wakirin, warga Wajak Kidul. Lamanya jatah pembagian hasil membuatnya hanya ingin menanam ketela untuk kebutuhan hidup.
“Tidak ada timbal balik yang diperoleh masyarakat. Masyarakat cenderung berinisiatif menanam bunga. Tumbuhan jati tidak bermanfaat bagi masyarakat peternak. Tumbuhan di bawah pohon Jati pun sulit untuk tumbuh,” pungkas Saidi, warga Wajak Kidul. Karena pergantian Asisten Perhutani (Asper) atau Sinder, Mantri dan Mandor yang menjanjikan seperempat hasil penanaman dan masyarakat sekarang sama-sama tidak mengetahui status perjanjian tersebut.
Gerakan untuk menanggulangi homogenitas tumbuhan yang kurang produktif muncul berupa penanaman bambu oleh Geogreen Park dan Perkawis. Mereka menanam bambu sebagai jenis tumbuhan tegakan tahunan yang bagus untuk kerapatan. Bambu mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat. Dia bisa menyerap air hujan sebesar 90%. Sedangkan tumbuhan lain rata-rata hanya 30%-40%.
“Bambu bisa mengamankan lereng-lereng terjal karena sifat akarnya, terutama di tebing-tebing dan pinggir sungai. Bambu pun bisa menyerap karbon 30% lebih tinggi daripada mayoritas rata-rata pohon lainnya,” terang Sophian Hadi, geolog di Perkawis. Bambu mampu menjadi produk alternatif berupa hasta karya yang lebih ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi ekonomis bila dikelola dengan baik.
Terdapat tiga titik mata air: pertama, sebelah timur Candi Dadi, semua air yang di perbukitan Walikukun berasal dari situ. Kedua, ke arah barat, arah Desa Wajakkidul, yang satu mengalir tapi tidak sampai ke bawah, ke arah Desa Junjung Ketiga, ke arah Desa Betak. Posisi ketiga mata air itu berdekatan. Semua mata air, berdasarkan keterangan Suprianto, belum berstatus Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) yang wajib dikonservasi.
Hasil pemetaan kawan-kawan Perkawis menunjukkan bahwa casement area atau area tangkapan hujan dari sumber mata air seluas 240 ha. Itu yang mereka amankan sebagai area konservasi. Karena dengan kondisi mata air yang sekarang ini, bila musim kemarau air tidak sampai ke bawah. “Tutupan hutan daerah Wajak Kidul memang kurang dari 10% selama 5 tahun,” ucap Arif, pendamping Perhutani.
Sofyan Hadi menyampaikan bahwa serapan lahan tersebut kecil akibat monokultur satu jenis tegakan saja, mayoritas jati. “Dibutuhkan keragaman sebagai bentuk konservasi. Ada tanaman yang bersifat tahunan keras dan tanaman-tanaman yang menghasilkan, supaya nanti hasil dari tanaman tersebut dapat diusahakan masyarakat setempat,” tandasnya.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3), Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) 31/2014 tentang Pengenaan PBB sektor Perkebunan dan Kehutanan, perhutani dengan luas lahan 942 ha atau 9.420.000 m2 diperkiraan membayar Rp 239.760.000,- per tahun.
Dengan perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 131.880.000.000 (dari harga tanah Rp 14.000 /m2 dikalikan luas total lahan 9.420.000 m2) dan yang Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebesar Rp 24.000.000 menggunakan rumus PBB PPP = 0,5% x 40% x NJOP (Rp 131.880.000.000) – NJOPTKP (Rp 24.000.000).
Luas 942 ha berdasarkan analisis area tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian: Area Vegetasi Rapat seluas 552 hektare dengan jumlah tegakan rata-rata per hektare 506 pohon dan Area Vegetasi Jarang seluas 390 hektare dengan jumlah tegakan rata-rata per hektare 72 pohon.
Selain membayar PBB, perhutani juga membayar Provisi Sumber Daya Hutan PSDH mengunakan rumus Harga Patokan x Tarif x Volume (m3). Harga Patokan sebesar Rp 180.000 /m3 mengacu pada PERMEN No. P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 untuk jenis kayu jabon, ekaliptus, dll. Tarif 10 % dengan luas area 942 ha. Pada Kerapatan Vegetasi Jarang seluas 390 ha diperoleh PSDH sebesar Rp 55.598.400,- dengan perhitungan Harga Patokan (180.000) x Tarif (10%) x Volume (3088,8 m3) dari (jumlah total pohon (28.080) x kubikasi (0,11 m3) (dengan rumus kubikasi = Panjang kayu (5 m) x Diameter kayu (0,17 m) x Diameter kayu (0,17 m) x Koefisien (0,7845)).
Idealnya, pada Vegetasi Rapat seluas 390 ha hendaknya PSDH sebesar Rp 2.806.174.800,-. Jika jumlah total pohon sebesar 197.340 dengan perhitungan (Luas Area (390 ) x Rata-Rata Pohon/ ha (506)) dan Kubikasinya sebesar 0,79 m3 akan diperoleh volume sebesar 155.898,6 m3 dengan rumus PSDH tadi.
Dari perhitungan di atas diperoleh, perkiraan potensi pendapatan dari PSDH kayu di area vegetasi jarang/tidak ada (seluas 390 ha) tegakan kayu (ha) sebesar Rp 55.598.400,-. Bila vegetasi area tersebut rapat, idealnya akan diperoleh PSDH sebesar Rp 2.806.174.800,-. Sedangkan perkiraan potensi di area vegetasi rapat (552 ha) tegakan kayu (ha) sebesar Rp 3.971.816.640,- di mana total potensi bila vegetasi 942 ha lahan tersebut rapat sebesar Rp 6.777.991.440,-, sedangkan yang bisa diperoleh dari potensi yang ada di lapangan sebesar Rp 4.027.415.040,-. Maka negara di sini memiliku potensi kerugian sebesar Rp 2.750.576.400,- atas ketidakmaksimalan perhutani mengelola lahannya.
Mulyono mengaku bahwa setiap tahun perhutani membayar pajak. “Karena itu memang kewajiban, itu pasti dibayar, karena ada suplay dari kph lain, 23 kph itu saling membantu,” tandasnya.
Hutan hendaknya menjadi tempat hidup pelbagai entitas flora dan fauna. Bermacam simbiosis pun terjadi di dalam hutan, sehingga mereka saling mengisi dan hidup berdampingan tanpa didominasi satu jenis populasi tertentu. Sehingga hutan bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat untuk kepentingan mereka.
Salah satu bentuk hutan yang masih terjaga keseimbangan populasinya berada di Dusun Bolu, Desa Ngepoh, Kecamatan Tanggunggunung. Tri Astutik dan keluarga tetap mempertahankan aneka tumbuhan hidup tumpang sari di belakang rumah mereka. Mengambil secukupnya dan membikin mereka diuntungkan oleh alam.
Bentuk keuntungan dari hal tersebut salah satunya berupa cabai yang dengan mudah mereka dapatkan, sebab cabai-cabai di belakang rumah mereka tumbuh dan menyebar dengan bantuan burung kutilang. Mereka dapat memanennya setiap saat tanpa perlu repot-repot melakukan penanaman.
Rabu, 3 Februari 2021, Desa Wajak Kidul diterpa hujan deras. Air sungai meluap, membanjiri jalan hingga ke rumah-rumah warga. Situasi ini tak terjadi sekali. Tiap tahun di setiap musim penghujan, banjir lalu-lalang. Kita bisa mengaksesnya lewat instagram geo_green.park, satu organ kemasyarakatan di desa tersebut, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Sebaliknya, kala kemarau, sumber air justru mengering dan masyarakat di bawah perbukitan Walikukun kesulitan mengaksesnya. Selama sekian tahun, Geogreen Park dan Pelestari Kawasan Wilis (Perkawis) secara swadaya membeli dan memasang pipa-pipa kecil guna mengalirkan air ke bawah, termasuk untuk keperluan situs: kebutuhan air di makam Eyang Cokro Kusuma. Mereka pun menanam tanaman bambu di tepian aliran sumber agar air tetap terjaga meski kemarau tiba.
“Rencana awal Geogreen Park itu mengembalikan lagi mata air. Dulu waktu saya kecil, air masih melimpah, lalu banyaknya penebangan liar (illegal logging) akhirnya sumber air makin dikit. Jadi teman-teman Geogreen Park itu bergerak terutama di penanaman bambu sebagai bentuk konservasi air,” terang Mahfud, anggota Geogreen Park.
Kerja-kerja semacam ini cukup menguras banyak waktu dan tenaga mengingat lahan hutan yang coba mereka selamatkan ialah milik perhutani. Lahan seluas 942 hektar itu masuk kawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Sanggrahan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kalidawir, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Blitar.
Tahun 2019, tim kami menemukan pohon-pohon yang sengaja dibakar bagian bawahnya. Hal ini menyebabkan daun-daun berguguran sehingga lahan menjadi tandus. Berdasarkan pengakuan Mulyono, perwakilan dari BKPH Kalidawir pada diseminasi 27 Januari lalu, pohon itu sengaja dibakar agar abu sisa pembakaran bisa memupuk rerumputan untuk tumbuh subur.
“Ada tanda larangan (untuk tidak membakar atau menebang; red). Memang tanaman tadi bila sudah besar semakin bagus, tapi humusnya berkurang, setelah dibakar akan tumbuh rumput, intinya di situ. Kalau sudah besar enggak mati, kecuali diobat, tapi balita di bawah usia lima tahun akan mati. Kalau sudah lima belas tahun lebih dibakar bawahnya, malah bagus pertumbuhannya,” jelasnya.
Pada Maret 2021, kami menyusuri kawasan RPH Sanggrahan. Bila dipandang dari jalan permukiman warga, tampak begitu lebat, hijau, penuh kemegahan eksotis khas alam. Lahan perbukitan tersebut disemayami aneka destinasi wisata: Goa Pasir, Goa Selomangkleng, Candi Dadi, Argo Pathok, Bukit Cilik, dan Bukit Budhek.
Kawasan itu meliputi delapan desa: Pagersari, Betak, Junjung, Wajakkidul, Sanggrahan, Pucung, Tanggung, dan Pojok. Terdapat tujuh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mengerjakan 72 ha lahan, yakni LMDH Wonoyoso desa Tanggung, LMDH Wonodadi desa Pojok, LMDH Sukojoyo desa Pucung Kidul, LMDH Subur Santoso desa Wajak Kidul, LMDH Asri desa Junjung, LMDH Wonobumi Rejeki, dan LMDH Wonotani Barokah.
Sekian luas lahan tadi hanya diurus oleh satu Mantri: Eko dan satu Mandor: Suprianto. Suprianto menjelaskan bahwa hutan produksi di sini khusus ditanami jati, sonokeling, mahoni, dan gmelina. Sedangkan tanaman yang cocok di hutan lindung adalah walikukun, cendana, jambu klutuk, tanaman jarak kepyar merah, dan kleresede,
Yansen, selaku ketua LMDH Subur Santoso desa Wajak Kidul mengaku bahwa lahan 21 Hektar yang digarapnya kini tidak pernah berproduksi. Mayoritas tanaman yang ada ialah pohon jati berusia 5-15 tahun dan kayu putih sebagai tanaman produksi yang belum pernah dimanfaatkan. Hal demikian dirasai oleh Wakirin, warga Wajak Kidul. Lamanya jatah pembagian hasil membuatnya hanya ingin menanam ketela untuk kebutuhan hidup.
“Tidak ada timbal balik yang diperoleh masyarakat. Masyarakat cenderung berinisiatif menanam bunga. Tumbuhan jati tidak bermanfaat bagi masyarakat peternak. Tumbuhan di bawah pohon Jati pun sulit untuk tumbuh,” pungkas Saidi, warga Wajak Kidul. Karena pergantian Asisten Perhutani (Asper) atau Sinder, Mantri dan Mandor yang menjanjikan seperempat hasil penanaman dan masyarakat sekarang sama-sama tidak mengetahui status perjanjian tersebut.
Gerakan untuk menanggulangi homogenitas tumbuhan yang kurang produktif muncul berupa penanaman bambu oleh Geogreen Park dan Perkawis. Mereka menanam bambu sebagai jenis tumbuhan tegakan tahunan yang bagus untuk kerapatan. Bambu mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat. Dia bisa menyerap air hujan sebesar 90%. Sedangkan tumbuhan lain rata-rata hanya 30%-40%.
“Bambu bisa mengamankan lereng-lereng terjal karena sifat akarnya, terutama di tebing-tebing dan pinggir sungai. Bambu pun bisa menyerap karbon 30% lebih tinggi daripada mayoritas rata-rata pohon lainnya,” terang Sophian Hadi, geolog di Perkawis. Bambu mampu menjadi produk alternatif berupa hasta karya yang lebih ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi ekonomis bila dikelola dengan baik.
Terdapat tiga titik mata air: pertama, sebelah timur Candi Dadi, semua air yang di perbukitan Walikukun berasal dari situ. Kedua, ke arah barat, arah Desa Wajakkidul, yang satu mengalir tapi tidak sampai ke bawah, ke arah Desa Junjung Ketiga, ke arah Desa Betak. Posisi ketiga mata air itu berdekatan. Semua mata air, berdasarkan keterangan Suprianto, belum berstatus Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) yang wajib dikonservasi.
Hasil pemetaan kawan-kawan Perkawis menunjukkan bahwa casement area atau area tangkapan hujan dari sumber mata air seluas 240 ha. Itu yang mereka amankan sebagai area konservasi. Karena dengan kondisi mata air yang sekarang ini, bila musim kemarau air tidak sampai ke bawah. “Tutupan hutan daerah Wajak Kidul memang kurang dari 10% selama 5 tahun,” ucap Arif, pendamping Perhutani.
Sofyan Hadi menyampaikan bahwa serapan lahan tersebut kecil akibat monokultur satu jenis tegakan saja, mayoritas jati. “Dibutuhkan keragaman sebagai bentuk konservasi. Ada tanaman yang bersifat tahunan keras dan tanaman-tanaman yang menghasilkan, supaya nanti hasil dari tanaman tersebut dapat diusahakan masyarakat setempat,” tandasnya.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3), Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) 31/2014 tentang Pengenaan PBB sektor Perkebunan dan Kehutanan, perhutani dengan luas lahan 942 ha atau 9.420.000 m2 diperkiraan membayar Rp 239.760.000,- per tahun.
Dengan perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 131.880.000.000 (dari harga tanah Rp 14.000 /m2 dikalikan luas total lahan 9.420.000 m2) dan yang Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebesar Rp 24.000.000 menggunakan rumus PBB PPP = 0,5% x 40% x NJOP (Rp 131.880.000.000) – NJOPTKP (Rp 24.000.000).
Luas 942 ha berdasarkan analisis area tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian: Area Vegetasi Rapat seluas 552 hektare dengan jumlah tegakan rata-rata per hektare 506 pohon dan Area Vegetasi Jarang seluas 390 hektare dengan jumlah tegakan rata-rata per hektare 72 pohon.
Selain membayar PBB, perhutani juga membayar Provisi Sumber Daya Hutan PSDH mengunakan rumus Harga Patokan x Tarif x Volume (m3). Harga Patokan sebesar Rp 180.000 /m3 mengacu pada PERMEN No. P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 untuk jenis kayu jabon, ekaliptus, dll. Tarif 10 % dengan luas area 942 ha. Pada Kerapatan Vegetasi Jarang seluas 390 ha diperoleh PSDH sebesar Rp 55.598.400,- dengan perhitungan Harga Patokan (180.000) x Tarif (10%) x Volume (3088,8 m3) dari (jumlah total pohon (28.080) x kubikasi (0,11 m3) (dengan rumus kubikasi = Panjang kayu (5 m) x Diameter kayu (0,17 m) x Diameter kayu (0,17 m) x Koefisien (0,7845)).
Idealnya, pada Vegetasi Rapat seluas 390 ha hendaknya PSDH sebesar Rp 2.806.174.800,-. Jika jumlah total pohon sebesar 197.340 dengan perhitungan (Luas Area (390 ) x Rata-Rata Pohon/ ha (506)) dan Kubikasinya sebesar 0,79 m3 akan diperoleh volume sebesar 155.898,6 m3 dengan rumus PSDH tadi.
Dari perhitungan di atas diperoleh, perkiraan potensi pendapatan dari PSDH kayu di area vegetasi jarang/tidak ada (seluas 390 ha) tegakan kayu (ha) sebesar Rp 55.598.400,-. Bila vegetasi area tersebut rapat, idealnya akan diperoleh PSDH sebesar Rp 2.806.174.800,-. Sedangkan perkiraan potensi di area vegetasi rapat (552 ha) tegakan kayu (ha) sebesar Rp 3.971.816.640,- di mana total potensi bila vegetasi 942 ha lahan tersebut rapat sebesar Rp 6.777.991.440,-, sedangkan yang bisa diperoleh dari potensi yang ada di lapangan sebesar Rp 4.027.415.040,-. Maka negara di sini memiliku potensi kerugian sebesar Rp 2.750.576.400,- atas ketidakmaksimalan perhutani mengelola lahannya.
Mulyono mengaku bahwa setiap tahun perhutani membayar pajak. “Karena itu memang kewajiban, itu pasti dibayar, karena ada suplay dari kph lain, 23 kph itu saling membantu,” tandasnya.
Hutan hendaknya menjadi tempat hidup pelbagai entitas flora dan fauna. Bermacam simbiosis pun terjadi di dalam hutan, sehingga mereka saling mengisi dan hidup berdampingan tanpa didominasi satu jenis populasi tertentu. Sehingga hutan bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat untuk kepentingan mereka.
Salah satu bentuk hutan yang masih terjaga keseimbangan populasinya berada di Dusun Bolu, Desa Ngepoh, Kecamatan Tanggunggunung. Tri Astutik dan keluarga tetap mempertahankan aneka tumbuhan hidup tumpang sari di belakang rumah mereka. Mengambil secukupnya dan membikin mereka diuntungkan oleh alam.
Bentuk keuntungan dari hal tersebut salah satunya berupa cabai yang dengan mudah mereka dapatkan, sebab cabai-cabai di belakang rumah mereka tumbuh dan menyebar dengan bantuan burung kutilang. Mereka dapat memanennya setiap saat tanpa perlu repot-repot melakukan penanaman.