Jaringan Keterbukaan Jawa Barat melihat bahwa pemahaman pejabat publik atas UU Keterbukaan Informasi publik masih rendah. Hal ini dintunjukkan dengan fakta hasil uji akses yang dilakukan Perkumpulan INISIATIF pada bulan November 2010 sampai Maret 2011 yang menunjukkan dari 37 badan publik yang di minta informasi hanya 17 saja yang memberikan respon secara tertulis.
Tidak hanya di tingkat OPD, rendahnya pemahaman akan UU KIP ini juga terjadi di tingkat kepala daerah. Pernyataan Gubernur Ahmad Heryawan sebagaimana dikutip Antarajawabarat.com (http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38241/bandung-tuan-rumah-rakornas-komisi-informasi-pusat), 27
Juni 2012 memperlihatkan hal tersebut. Beliau menyatakan bahwa lembaga Komisi Informasi memiliki fungis tidak lebih dari humas pemerintah.
“…Padahal KIP atau KID juga berfungsi ke masyarakat untuk menyosialisasikan apa-apa saja yang sedang dan akan terjadi di pemerintahan…”
Selanjutnya beliau menyatakan:
“…Oleh karena itu, kata Heryawan, peran Komisi Informasi Pusat atau Komsi Informasi Daerah dinilai sangat membantu dalam memberikan informasi publik kepada masyarakat…”
Pernyataan tersebut mengkerdilkan fungsi dari Komisi Informasi yang merupakan lembaga yang independen di luar pemerintahan seperti tercantum pada pasal 23 UU KIP. Selanjutnya pada pasal 26 dan 27 UU yang sama, Komisi Informasi memiliki peran sebagai lembaga quasi yudicial dalam memutuskan sengketa informasi publik.
Ketidakpahaman Gubernur semakin tercermin dari penyataan selanjutnya.
“…Karena sengketa informasi itu bukan ranah hukum, sengketa informasi itu pernyataan publik terkait kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, yang belum terjawab dan hal itu dibantu dijawab oleh KIP…”
Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Makamah Agung no 2 Tahun 2011 pasal 4 dan 10, dimana keputusan Komisi Informasi memiliki kekuatan hukum.
Bandung, 4 Juli 2012
Pius Widiyatmoko (081322127301)