Pendahuluan
Pada dasarnya, setiap orang berhak dan layak untuk hidup sejahtera. Kondisi itu terlepas dari kelas mana dia berasal saat lahir. Cita-cita ini yang mengilhami bagaimana perlindungan sosial (harusnya) diupayakan oleh suatu kolektif sosial, secara lebih khusus oleh negara, untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks Indonesia, cita-cita seperti itu sebenarnya telah tegas dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 bahwa tujuan bernegara adalah, “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Tetapi dalam perkembangannya saat ini, cita-cita negara tersebut belum mampu hadir dan memenuhi harapannya secara keseluruhan. Kenyataannya masih banyak rakyat Indonesia yang belum sejahtera. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan meskipun jumlah resmi dari mereka yang digolongkan ke dalam kelompok miskin berkurang dari 18,4 persen dari total populasi pada tahun 2002 menjadi 11,2 persen dari total populasi pada tahun 2013, tetapi jumlah dari mereka yang tergolong ke dalam kelompok miskin bersama-sama dengan kelompok ‘hampir miskin’ yang berjumlah lebih besar, masih menyusun kurang lebih setengah dari populasi. Kemudian berdasarkan Bank Dunia, pada tahun 2011, 43 persen dari total populasi Indonesia hidup dengan kurang dari 2 dolar Amerika Serikat per hari.[1]
Menghadapi kenyataan tersebut, kebijakan negara untuk memberikan perlindungan sosial saat ini diwujudkan dalam bentuk badan asuransi sosial yang terpadu secara nasional. Pilihan kebijakan tersebut merupakan manifestasi dari konsep perlindungan sosial yang minimal bagi rakyat di Indonesia. Hal tersebut, tentu berkaitan dengan negara sebagai sebuah relasi sosial, tidak terlepas dari pertarungan antar kekuatan sosial yang ada di dalamnya. Pertarungan antar kekuatan sosial itu yang akan mengarahkan di titik mana orientasi negara dalam melindungi rakyatnya. Tulisan ini akan mendiskusikan mengenai perlindungan sosial yang eksis di Indonesia saat ini berikut dengan keterbatasannya, kemudian diikuti oleh tawaran yang diajukan oleh gerakan rakyat (KPRI) untuk menyelesaikan problem perlindungan sosial tersebut.
Perlindungan Sosial di Indonesia: Sekilas Sejarah
Upaya menghadirkan perlindungan sosial bagi rakyat Indonesia telah menyejarah sejak berdirnya negara Republik Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan atau era kepemimpinan Soekarno, jaminan sosial secara terbatas diberlakukan untuk sektor perburuhan dan aparatus negara. Jaminan sosial pada masa ini ditandai dengan karakteristik yang top-down, ditujukan untuk menguatkan kapasitas aparatus negara, dan sebagai bentuk akomodasi atas kekuatan buruh yang memiliki peran cukup signifikan dalam perjuangan kemerdekaan. Jaminan sosial untuk sektor perburuhan dapat dilihat dari UU No. 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48 Tahun 1952 tentang Pengaturan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, PMP No. 15 Tahun 1957 tentang Yayasan Sosial Buruh, dan PMP No. 5 tahun 1964 tentang Yayasan Dana Jaminan Sosial. Sedangkan jaminan sosial untuk perangkat negara (PNS dan militer) diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun, PP No. 9 Tahun 1963 tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri, dan PP No. 10 Tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri (TASPEN).
Pada era Orde Baru, jaminan sosial tetap memiliki karakter yang terbatas dan fragmentatif, sehingga tidak semua rakyat Indonesia mendapatkannya. Jaminan sosial yang tersedia diantaranya adalah Asuransi Kesehatan (ASKES) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) untuk militer/ABRI, Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri (TASPEN) sebagai tabungan pensiun dan jaminan hari tua bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) untuk buruh yang terdaftar.
Semua badan penyelenggara jaminan sosial pada masa Orde Baru telah mengalami privatisasi dengan bentuk Perseroan dan BUMN. Dengan bentuk demikian, maka lembaga penyelenggara jaminan sosial juga memiliki orientasi untuk mencari keuntungan. Privatisasi ini terkait dengan terbukanya Indonesia terhadap kekuatan ekonomi global (baca: kekuatan pasar). Desain institusi ini juga ditujukan untuk menopang agenda negara yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (developmental state). Oleh karena itu, poros jaminan sosial banyak bertumpu pada aparatus negara, berikut dengan pendisiplinan buruh.
Krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 menjadi latar belakang desain penyelengaraan jaminan sosial pasca-Soeharto di Indonesia. Hadirnya IMF, World Bank, dan Asian Development Bank (ADB) dalam mengatasi krisis tersebut turut membentuk perubahan institusi, terutama dalam sektor ekonomi dan politik di Indonesia melalui skema Structural Adjustment Programme (SAP), termasuk dalam hal ini jaminan sosial. Melalui skema tersebut, penyelenggaraan perlindungan sosial tidak semata-mata untuk melindungi rakyat dari segala kerentanan sosial, tetapi lebih ditempatkan dalam kerangka penyelamatan ekonomi, terkhusus pada sektor finansial.[2]
Pasca reformasi, rancangan program jaminan sosial dituangkan dalam UndangUndang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 Tahun 2004. Kemudian, sebagai turunan dari UndangUndang SJSN, dibuatlah UndangUndang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial No. 24 tahun 2011 yang menempatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai badan khusus yang mengelola dana jaminan sosial secara terintegrasi. BPJS Kesehatan sebagai badan resmi jaminan sosial di Indonesia pun mulai dijalankan sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan akan berjalan mulai 1 Juli 2015. Implikasinya, berbagai badan yang sebelumnya mengelola dana jaminan sosial seperti PT ASKES untuk PNS, PT TASPEN untuk Pensiunan, PT ASABRI untuk anggota TNI dan POLRI, serta PT JAMSOSTEK untuk para buruh, akan dilebur dan digabungkan ke dalam BPJS. Hanya saja, PT TASPEN dan PT ASABRI masih dalam proses peralihan hingga tenggat waktu peleburannya, yaitu tahun 2029.[3]
Keterbatasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
BPJS sebagai jaminan sosial yang ada di Indonesia saat ini telah beroperasi selama kurang-lebih 2 tahun. Lembaga ini menjadi satu-satunya penyelenggara jaminan sosial sekaligus memiliki jumlah kepersertaan yang sangat besar. Setidaknya sampai Dari berjalannya BPJS selama waktu tersebut, kita bisa melihat berbagai keterbatasan dari jaminan sosial yang disediakannya. Beberapa keterbatasan itu, antara lain,
Pertama, BPJS (terutama BPJS Kesehatan) bukan ditujukan semata-mata sebagai organisasi dengan logika pelayanan kebutuhan sosial, melainkan sebagai instrumen keuangan negara. Dalam riset INKRISPENA, ditunjukkan bahwa BPJS Kesehatan dirancang bukan hanya untuk memberikan perlindungan kesehatan, tetapi juga untuk menggalang dana dari masyarakat dalam rangka membantu keuangan negara.[4] Fungsi BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara dapat dilihat dari pola investasi yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan dan kesepakatan Bond Stabilization Framework (BSF). Dalam UU BPJS dan PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan membolehkan aset yang dikelola BPJS Kesehatan untuk diinvestasikan pada berbagai instrumen investasi. Dari berbagai instrumen investasi tersebut, terdapat dua instrumen yang tidak dikenai batasan jumlah dan prosentase, yaitu surat berharga Negara dan Bank Indonesia (BI). Dengan pengaturan tersebut, maka BPJS memang dirancang untuk menyerap surat berharga negara atau BI. Dengan membeli surat berharga tersebut, BPJS membantu menyediakan dana segar kepada negara (yang berasal dari masyarakat) saat terjadi krisis ekonomi, sekaligus juga berguna untuk menaikan nilai surat berharga tersebut. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kesepakatan BSF antara Kementerian Keuangan dengan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Upaya stabilisasi itu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan pasar pada surat berharga negara.[5]
Hal di atas sesuai dengan skema ADB yang turut merancang terbentuknya sistem jaminan sosial yang terintegrasi dengan reformasi sektor finansial. Adanya potensi krisis ekonomi dimasa depan membuat reformasi ini perlu dilakukan sekaligus dapat mengantisipasi efek sosial dari krisis itu. Disinilah muncul kebutuhan untuk mengintegrasikan reformasi sektor †nansial dengan jaminan sosial.[6] Skema itu beoperasi melalui sistem jaminan sosial yang saat ini berupa BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Kedua, BPJS beroperasi dengan logika bisnis. Implikasi dari BPJS yang berlogika sebagai instrumen keuangan adalah adanya usaha untuk terus meningkatkan pendapatan dan menekan pengeluaran. Hal ini dilakukan melalui penggunaan sistem tarif INA-CBG (Indonesia Case Based Group) yang membatasi pelayanan kesehatan melalui standar pengobatan yang sudah terpaketkan. Dengan INA-CBG, BPJS Kesehatan sudah dapat mengestimasi pengeluaran yang dengannya memperkecil resiko pengeluaran pelayanan kesehatan yang berlebihan.[7]
Selain itu, BPJS juga memiliki kecenderungan untuk terus meningkatkan iuran pesertanya. Hal tersebut karena ia bekerja dalam logika pasar dimana harga obat-obatan yang menjadi paket INA-CBG ditentukan oleh mekanisme pasar. Proses ini dengan dalih untuk kepentingan agar JKN ikut mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia (Info BPJS Kesehatan, 2014). Ketika permintaan atas paket obat meningkat, maka ada tekanan sistemik yang mengerek tingkat harga obat yang dengannya mengubah ongkos paket obat INA-CBG. Konsekuensi logisnya, akan selalu muncul kebutuhan akan kenaikan tingkat iuran peserta.
Ketiga, BPJS membawa adanya fragmentasi pelayanan jaminan sosial karena tingkatan iuran peserta. Sumber utama pembiayaan BPJS berasal dari iuran peserta. Iuran tersebut juga menentukan pelayanan yang akan diterima oleh peserta jaminan sosial. Logika yang bekerja adalah siapa yang mampu membayar lebih banyak akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Logika ini persis sebagai logika pasar dalam jaminan sosial.
Adanya perbedaan pelayanan tersebut membuat peserta kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran)—fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan pemerintah atau peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja yang membayar iuran paling rendah relatif paling rentan mendapatkan pelayanan yang buruk.
Keempat, Pelayanan buruk di lapangan. Salah satu masalah yang sering ditemui oleh pasien BPJS Kesehatan dengan kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran)—fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan pemerintah—adalah penolakan RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III. Selain itu juga dalam hal penyediaan obat. Seringkali pasien BPJS tidak mendapatkan obat yang dibutuhkan karena ditolak diberikan oleh RS. Tak jarang hal tersebut berujung pada semakin memburuknya kondisi pasien.
Kelima, fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai. Selain faktor di atas, rendahnya belanja kesehatan Pemerintah Indonesia turut memperburuk kondisi “fasilitas kesehatan”. Pada tahun 2013, Indonesia hanya mengalokasikan 3,7 persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Angka ini lebih rendah dari beberapa negara berpenghasilan rendah seperti Rwanda, Tanzania dan Liberia yang mampu mengalokasikan 11 persen dari anggaran nasional mereka untuk sektor kesehatan. Negara yang memiliki pendapatan yang mirip dengan Indonesia, seperti Chile bahkan mampu mengalokasikan 16 persen dari anggaran nasional untuk perawatan kesehatan.[8]
Kondisi di atas berimplikasi pada rasio rumah sakit dan tenaga kerja terhadapp penduduk. Dibandingkan dengan beberapa negara yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia cukup rendah. Menurut data Bank Dunia, pada 2010, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia adalah 0,6. Untuk tenaga dokter, Indonesia lebih parah lagi. Pada 2010, diantara 10 negara berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan terakhir dalam jumlah dokter per 1000 penduduk, dengan angka 0,29.[9]
Perlindungan Sosial Transformatif: Sebuah Alternatif
Melihat keterbatasan dari jaminan sosial yang ada, maka Konfederasi Pergarakan Rakyat Indonesia (KPRI) menawarkan konsep perlindungan sosial yang disebut “Perlindungan Sosial Transformatif” sebagai alternatif. Perlindungan sosial menurut skema rakyat pekerja itu merupakan alternatif dari skema jaminan sosial menurut pemerintah yang dirumuskan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) Tahun 2004, UU Kesejahteraan Sosial No 11 Tahun 2009 dan UU BPJS Tahun 2011. Jaminan sosial versi pemerintah itu dirumuskan “dari atas” (top down) menurut kepentingan penguasa ekonomi dan politik, yaitu untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan pemilik modal, dan bukan untuk keadilan sosial bagi rakyat pekerja.
Pengertian alternatif berorientasi untuk mentransformasikan (membuat perubahan) kehidupan rakyat pekerja menjadi manusia seutuhnya, bebas dari penindasan ekonomi-politik dan memiliki kekuasaan ekonomi-politik untuk mengatur kepentingan kehidupan rakyat pekerja secara kolektif. Itu sebabnya KPRI memberi embel-embel “transformatif” bagi skema perlindungan sosialnya. Tetapi apa yang dimaksud ‘transformatif” juga harus diperjelas definisinya menurut kepentingan rakyat pekerja, yaitu rakyat pekerja harus mendiskusikan transformasi dari kondisi apa menuju kondisi apa secara lebih konkrit dan terukur.
Perlindungan sosial transformatif ini ditujukan: (1) Sebagai alat politik guna membongkar struktur ekonomi dan politik yang menindas, (2) Menjamin perjuangan ekonomi dan politik rakyat pekerja agar terjadi kesetaraan kekuasaan ekonomi dan politik, (3) Mencapai kesejahteraan dan keadilan yang sejati.
Berangkat dari kekurangan BPJS, ada setidaknya 12 prinsip perlindungan sosial yang harus menjadi pondasi baru bagi kebijakan jaminan sosial yang hendak diperjuangkan. Ke 12 prinsip ini meliputi:
- Dibiayai negara: alih-alih dibiayai oleh para pengguna, jaminan sosial harus diibiayai secara penuh oleh negara.
- Partisipatif: sistem jaminan sosial yang dibangun harus memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh untuk menentukan serta mengubah kondisi dimana mereka berada.
- Politis: sistem jaminan sosial harus membangun serta mendorong kesaradaran seluruh rakyat sebagai warga negara aktif yang memiliki hak untuk dilindungi oleh negara.
- Kolektif: jaminan sosial yang diimplementasikan harus didasarkan pada prinsip kolektifitas dimana perlindungan bertujuan untuk memperkuat hubungan serta kolektifitas antar mereka yang dilindungi oleh sistem itu sendiri.
- Redistributif: sistem jaminan sosial harus memungkinkan transfer kesejahteraan dari yang kaya ke yang miskin.
- Anti kapitalis: sistem jaminan sosial harus dibangun diatas dasar kendali yang kritis terhadap kekuatan ekonomi politik kapitalisme. Kapitalisme yang mendasarkan operasinya pada logika keuntungan semata harus ditundukan dalam operasi system jaminan sosial yang baru ini.
- Produktif: operasi jaminan sosial didasarkan pada upaya penjaminan masyarakat yang produktif, yang mampu untuk menciptakan kesejahteraan diatas dasar kebaikan bersama
- Afirmatif: jaminan sosial yang dibangun harus mengafirmasi keberadaan kelompok masyarakat yang minoritas serta dipinggirkan melalui kemudahan sistemik bagi kelompok ini untuk mendapatkan pelayanan jaminan sosial.
- Ekologis: bahwa sistem jaminan sosial yang dibangun bukan hanya tidak bertentangan dengan upaya mendukung kondisi ekologi yang sehat bagi kehidupan manusia, namun juga berorientasi untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara ekologis.
- Berkedilan gender sistem jaminan sosial mendukung posisi perempuan dan melakukan tantangan sistemik terhadap sistem patriarki yang meminggirkan perempuan
- Preventif: sistem jaminan sosial harus beroperasi di atas prinsip pencegahan atas kehidupan sosial yang tidak layak dan rapuh. Pelayanan diberikan bukan pada saat kehidupan warga negara mengalami masalah dan dengannya perlu untuk dilindungi, namun justru sebelum masalah atas warga negara itu terjadi.
- Universal: pelayanan sistem perlindungan sosial yang diberikan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi kelas, agama dan juga kesukuan.
Kemudian, dalam Lokakarya mengenai Perlindungan Sosial Transformatif yang diselenggarakan oleh INKRISPENA cakupan perlindungan sosial transformatif sebagai berikut:
- Perlindungan sosial transformatif mencakup perlindungan atas lingkaran hidup (life-cycle) manusia, baik dari aspek produksi maupun reproduksi sosial (pemenuhan kebutuhan untuk keberlangsungan hidup di dalam rumah tangga dan masyarakat) guna menciptakan tenaga produktif yang berkualitas
- Perlindungan sosial transformatif mencakup pula perlindungan terhadap keseksualan perempuan dan anak dari kejahatan seksual
- Perlindungan sosial transformatif mencakup pula perlindungan atas pemeliharaan, perawatan dan pemulihan agraria, ekosistem, lingkungan hidup, sumber kekayaan alam
- Perlindungan sosial transformatif merupakan alat perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dan kelas, di mana masing-masing sektor selain memperjuangkan kelasnya, juga memperjuangkan kesetaraan gender di dalam konteks sebagai kelas tertindas
- Perlindungan sosial transofrmatif adalah perjuangan multi-sektor untuk penguatan rakyat pekerja secara sosial-budaya dan ekonomi-politik
- Perlindungan sosial transformatif harus menyambungkan kepentingan ekonomi politik multi-sektor.
[1] Edward Aspinall, “Inequality and Democracy in Indonesia”, diunduh dari http://kyotoreview.org/issue-17/inequality-and-democracy-in-indonesia/ diakses pada 25 Juni 2016 pukul 13.03 WIB.
[2] Asian Development Bank (ADB), “Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on Proposed Cluster, First Loan and Technical Assistance Grants to the Republic of Indonesia for the Financial Governance and Social Security Reform Program (2002)”, diunduh dari http://www.adb.org/projects/documents/†nancial-governance-and-social-security-reform-program-indonesia-rrp
[3] Fathimah Fildzah Izzati dan Robie Kholilurrahman, “Sejarah Singkat Perlindungangan Sosial di Indonesia”, diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2015/sejarah-singkat-perlindungan-sosial-di-indonesia diakses pada 23 Juni 2016 pukul 22.00 WIB
[4] INKRISPENA, “Urban Health Protection Services and Workers’ Resistance in Greater Jakarta: Problems and Potentials of Expanding Coverage of National Health Insurance,” Laporan tidak diterbitkan, 2014-2015.
[5] Moh. Zaki Hussein,”BPJS Kesehatan: Perlindungan Kesehatan atau Jasa Keuangan Negara?” diunduh dari http://www.prpindonesia.org/2015/bpjskesehatanperlindungankesehatanataujasakeuangannegara diakses pada 23 Juni 2016 ukul 20.00 WIB.
[6] Lihat ADB, “Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on Proposed Cluster, First Loan and Technical Assistance Grants to the Republic of Indonesia for the Financial Governance and Social Security Reform Program (2002)”.
[7] Muhammad Ridha, “Kebangkrutan BPJS Kesehatan”, diunduh dari http://indoprogress.com/2016/04/kebangkrutan-bpjs-kesehatan/ diakses pada 25 Juni 2016 pukul 22.30 WIB
[8] Muhammad Ridha, “Quo Vadis Jaminan Kesehatan Nasional”, diunduh dari http://indoprogress.com/2015/04/quo-vadis-jaminan-kesehatan-nasional/ diakses pada 25 Juni 2016 pukul 22.16 WIB
[9] Moh. Zaki Hussein, “Lemahnya Kekuatan Produktif Sektor Kesehatan Indonesia” diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2016/lemahnya-kekuatan-produktif-sektor-kesehatan-indonesia diakses pada 25 Juni 2016 ppukul 22.08 WIB.