Oleh : Dan Satriana[1]
Konsep tata kelola pemerintahan yang baik merupakan rangkaian panjang dari proses tuntutan masyarakat yang mulai terutama setelah reformasi pada tahun 1998. Kebutuhan pengelolaan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel diyakini dapat memperbaiki kelemahan birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang rendah
Sebelumnya akuntabilitas sering diidentikan dengan pertanggung jawaban penyelenggara layanan secara politik maupun administratif. Akuntabilitas Politik artinya pertanggungjawaban “diwakilkan” melalui politisi yang dipilih menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Sedangkan akuntabilitas administratif merupakan pertanggungjawaban terhadap pemberi tugas dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia.
Namun dalam perkembangan selanjutnya banyak pemikiran dan gagasan yang mendorong pertanggungjawaban kinerja tidak cukup hanya dilakukan kepada atasan atau struktur secara vertikal. Pertanggungjawaban kinerja juga perlu disampaikan kepada pihak luar, yaitu kelompok masyarakat pengguna layanan serta masyarakat luas. Maka dikenal sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.[2].
Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan publik dan program yang mempengaruhi kehidupan mereka membutuhkan ruang bagi masyarakat untuk mengetahui kebijakan dan alasan pengambilan kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya. Tolok ukur kinerja juga dilihat dalam suatu ukuran yang menunjukkan kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran dari kelompok kepentingan terhadap pelayanan tersebut.
Dalam konteks inilah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diharapkan akan membantu terwujudnya akuntabilitas publik dan penyelenggaraan negara yang baik pada umumnya. Dalam tujuan undang-undang tersebut jelas disebutkan bahwa salah satu tujuan dari Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi ini adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan[3].
Undang-undang keterbukaan informasi memberikan jaminan dan kepastian bagi masyarakat dan badan publik terkait permohonan informasi publik. Setidaknya ada tiga hal yang memperjelas posisi masyarakat dan badan publik terkait akses informasi publik. Pertama, undang-undang in memberikan kepastian terhadap jenis informasi publik yang wajib diberikan dan dikecualikan. Masyarakat mempunyai kepastian untuk meminta semua jenis informasi publik yang wajib diumumkan dan disediakan oleh badan publik. Badan publik juga mempunyai kejelasan untuk memastikan jenis informasi yang wajib diberikan atau tidak wajib diberikan karena termasuk informasi publik yang dikecualikan. Kedua, kepastian prosedur memperoleh informasi publik. Undang-undang dan peraturan pendukungnya memberikan prosedur pengumuman dan permintaan informasi publik yang dapat dijadikan pedoman oleh pemohon maupun badan publik. Ketiga, kepastian dalam menyelesaian sengketa informasi publik melalui Komisi Informasi dan pengadilan yang berwenang.
Secara khusus, peraturan perundangan terkait keterbukaan informasi menjamin transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup setidaknya aspek penyelenggaraan pelayanan publik, prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, standar pelayanan, dan informasi yang lain terkait dengan hak-hak masyarakat. Bahkan secara khusus, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara wajib menyediakan informasi lain, seperti sistem dan alokasi dana remunerasi anggota komisaris/dewan pengawas dan direksi, mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan pengawas, pengumuman penerbitan efek yang bersifat utang, penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan, maupun perubahan tahun fiskal perusahaan[4].
Namun setelah hampir 6 tahun diundangkan, kita masih melihat bahwa pemenuhan kewajiban oleh badan publik masih sebatas pembentukan kelembagaan dan aturan internal badan publik. Masih pada tahap pembentukan instrumen pelayanan informasi publik. Perbaikan koordinasi, peningkatan ketrampilan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, serta perubahan kultur badan publik menjadi masih belum menjadi perhatian badan publik.
Meskipun badan publik, terutama badan publik pemerintah, sudah mulai membentuk pejabat pengelola informasi publik namun persoalan dalam pelayanan informasi publik adalah koordinasi di dalam badan publik itu sendiri. Pengelolaan informasi antar unit kerja di dalam badan publik masih belum berjalan baik. Tidak mengherankan jika masyarakat masih sering terhambat karena informasi yang dimohonkan belum dikelola dan dikoordinasi dengan baik oleh unit kerja di badan publik.
Pejabat pengelola informasi publik juga belum mempunyai pemahaman dan ketrampilan yang baik dalam menanggapi permohonan informasi. Termasuk ketika menolak permintaan informasi publik yang termasuk informasi publik yang dikecualikan. Padahal peraturan perundangan mengenai keterbukaan informasi publik mewajibkan badan publik melakukan pengujian tentang konsekuensi dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang[5].
Dari catatan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan kepada Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, hanya sekira 1 persen permohonan tersebut diajukan dengan alasan penolakan badan publik bahwa informasi yang dimohonkan termasuk informasi yang dikecualikan. Sebagian besar permohonan penyelesaian sengketa publik diajukan dengan alasan badan publik tidak menanggapi permintaan informasi publik atau tidak memenuhi sesuai permintaan.
Prinsip keterbukaan informasi yang memberikan akses informasi secara maksimal hanya bisa dibatasi secara ketat malui kewajiban prosedural melakukan pengujian tentang konsekuensi yang timbul jika membuka atau menutup suatu informasi publik. Penolakan pemberian informasi tanpa melalui suatu prosedur uji konsekuensi, akan masuk dalam ketentuan secara sengaja menghambat pemberian informasi berdasarkan UU KIP[6].
Terakhir, ini yang sulit berubah adalah perubahan kultur badan publik. Birokrasi yang tertutup dan hubungan penyelenggara dengan pengguna pelayanan yang tidak seimbang merupakan salah satu kultur yang menghambat transparansi dan akses masyarakat terhadap informasi publik. Badan publik menganggap masyarakat tidak berkepentingan melakukan pengawasan karena merasa sudah cukup dengan mempertanggungjawabkan kinerja mereka kepada pengawasan yang berwenang.
Dalam kondisi seperti itu, maka proses masyarakat untuk dapat mengakses informasi publik menjadi lebih panjang. Seharusnya kehadiran undang-undang ini membuat masyarakat dapat memperoleh informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Namun karena tidak ditanggapi atau dipenuhi, maka pemenuhan hak mendapat informasi publik harus melalui penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi atau pengadilan yang berwenang.
Dari tahun ke tahun masih terjadi peningkatan jumlah pengajuan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik ke Komisi Informasi. Di Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat sendiri, jumlah permohonan penyelesaian sengketa informasi publik dalam kurun waktu 3 tahun terakhir selalu meningkat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai jumlah 501 permohonan, sampai dengan bulan Oktober 2014 ini sudah tercatat 1010 permohonan. Tidak saja badan publik pemerintah, unit-unit penyelenggara pelayanan publik juga belum dapat sepenuhnya memberikan pelayanan informasi publik, sehingga dalam kurun waktu itu terdapat 532 permohonan penyelesaian sengketa dengan termohon penyelenggara pelayanan publik, seperti lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, pemerintah desa, serta lembaga penyelenggara pelayanan publik lain.
Bahkan ketika penyelesaian sengketa informasi sudah diputuskan oleh Komisi Informasi dan Pengadilan yang berwenang sekalipun, masih banyak badan publik yang tidak mematuhinya. Sesuai dengan peraturan perundangan yang ada, adalah hak dari para pihak -termasuk badan publik- untuk mengajukan keberatan terhadap putusan Komisi Informasi dan pengadilan yang berwenang. Masalahnya menjadi penting karena badan publik masih sering menggunakan alasan yang tidak sesuai prinsip hak terhadap akses informasi publik. Alasan mengenai prosedur dan kepentingan hukum Pemohon adalah alasan merupakan alasan dari badan publik yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan dari keterbukaan informasi.
Kondisi yang digambarkan di atas memang menguatkan pendapat dari Tiago Peixoto. Berdasarkan pengamatan penerapan Open Government Data ditemukan bahwa mekanisme akuntabilitas dilihat dalam perspektif keterbukaan informasi paling tidak ada rantai yang terkait: (1) adanya keterbukaan dalam informasi pemerintah; (2) informasi yang dibuka sampai kepada publik yang dituju; (3) masyarakat dapat memproses informasi yang dibuka dan bereaksi terhadapnya; (4) pejabat publik merepon reaksi publik atau dikenakan sanksi oleh publik melalui cara-cara yang institusional[7].
Itupun masih belum cukup. Selain keterbukaan informasi publik, akuntabilitas ditentukan oleh dua hal, yaitu kondisi publisitas, seperti tingkat kebebasan pers dan kondisi kelembagaan politik seperti kebebasan dalam hak sipil dan politik. Dari pengalaman penerapan Open Government Data ditemukan bahwa penerapan Open Government Data bukanlah faktor yang paling kuat dalam mendorong akuntabilitas sosial, melainkan kondisi publisitas dan kondisi hak-hak sipil-politik di negara tersebut.
Namun kehadiran undang-undang mengenai keterbukaan informasi memberikan ruang bagi keseimbangan posisi antara badan publik dan masyarakat atau pengguna pelayanan publik. Ketidakseimbangan posisi yang disebabkan karena ketidakseimbangan penguasaan informasi setidaknya dapat dikurangi dengan jaminan akses terhadap informasi publik melalui undang-undang ini. Masyarakat perlu meningkatkan kapasitas dalam menggunakan dan memanfaatkan informasi publik. Masyarakat tidak sekedar hanya menjadi pemohon informasi publik. Secara bertahap masyarakat perlu meningkatkan kapasitas dalam mengolah, memanfaatkan, dan menyuarakan kembali informasi publik yang telah diperolehnya. Keterbukaan informasi pada akhirnya akan meningkatkan kualitas partisipasi dan peran aktif dalam pengambilan kebijakan publik dan penyelenggaan pemerintahan yang baik.
Masyarakat tentu sangat berkepentingan untuk terlibat aktif menghilangkan hambatan tersebut. Selain sebagai bagian memperoleh hak dasar, pekerjaan rumah itu seluruhnya dibebankan kepada badan publik atau pemerintah. Pemenuhan kewajiban pemerintah terhadap hak atas informasi publik ternyata dipengaruhi oleh dorongan masyarakat atau pemohon informasi publik. Ada contoh beberapa pemerintah daerah yang secara bertahap berubah setelah berhadapan dengan masyarakat dan pemohon informasi yang kritis.
Di sisi lain, keterbukaan informasi handaknya tidak dijadikan tujuan akhir, keterbukaan informasi hanya dapat bermanfaat dalam iklim politik yang demokratis. Upaya mendorong keterbukaan informasi publik harus pula dibarengi dengan kerja-kerja konkrit mendukung kebijakan politik yang berpihak ada pemenuhan hak sipil dan politik.
[1] Ketua Komisi Informasi Jawa Barat 2011-2015. Disampaikan pada acara Seminar Akuntabilitas Publik dalam Mendorong Efektifitas dan Efisiensi Pelayanan Publik, di Hotel Horison, Kota Bandung, 23 Desember 2014.
[2] Polidano C (1998) sebagaiman dikutip oleh Tatag Wiranto dalam artikel Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelayanan Publik.
[3] Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[4] Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
[5] Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
[6] Lihat Pasal 52dan Pasal 54 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
[7] Sebagai dikutip dalam artikel Akuntabilitas dalam Perspektif Relasi Sosial di http://kebebasaninformasi.org