Pada tanggal 18 Agustus 2010, Koalisi CSO untuk APBN Kesejahteraan Mengajukan Gugatan Ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 22 tahun 2010 tentang APBN-P 2010, dengan fakta-fakta APBN-P 2010 inkonstitusional, sebagai berikut :
- APBN-P 2010 Tidak Sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat
Belanja Pemerintah Pusat pada APBN-P 2010 lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan rutin dan pejabatnya ketimbang rakyatnya. Rp. 162,6 trilyun dialokasikan untuk belanja pegawai, belanja perjalanan Rp. 19,5 trilyun dan Rp. 153,6 triliyun untuk pembayaran bunga dan pokok utang. Artinya, 40,7% belanja pusat dipergunakan hal yang bersifat rutin.
- APBN Tidak Mampu Mensejahterakan Rakyat.
Hal ini tergambarkan dari potret anggaran kita yang meningkat 120% lebih pada tahun 2005 sebesar Rp. 509,6 trilyun menjadi Rp. 1.126 trilyun pada RAPBN 2011.Namun peringkat Indeks Pembangunan Manusia kita terus terpuruk, Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke-107, merosot ke peringkat ke-109 pada tahun 2007-2008, dan pada 2009 menjadi peringkat ke-111. Bahkan lebih buruk dari peringkat Palestina (110) dan Sri Lanka (102) yang sedang dilanda konflik. Hal ini menunjukan peningkatan anggaran Negara belum sepenuhnya efektif memenuhi amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, selama 65 tahun Indonesia Merdeka.
- APBN-P 2010 Tidak Dilaksanakan Secara Terbuka
Pasal 23 ayat (1) UUD’45 menyatakan APBN dilaksanakan secara “Terbuka”. Faktanya, dari 35 Kementerian/Lembaga yang diajukan FITRA untuk meminta rincian DIPA Anggarang, hanya 7 Kementerian/lembaga yang memberikan. Ini menunjukan, pengelolaan anggaran masih tertutup dan dianggap sebagai rahasia Negara.
- Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Tidak Adil dan Melanggar UU
Pasal 18A ayat (2) UUD’45 menyatakan: “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selalaras berdasarkan undang-undang”. FaktanyaPasal 20 ayat (6) dan (7) UU APBNP 2010 mengalokasikan DPDF PPD sebesar Rp. 7,1 triliyun dan DPIPD sebesar Rp. 5,1 trilyun. Kedua alokasi ini merupakan bagian dari dana penyesuaian daerah. Selanjutnya pasal (8) UU ini menyatakan alokasi DPDF PPD dan DIPD ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Setelah ditelusuri, ternyata kedua alokasi dana perimbangan ke daerah ini tidak dilaksanakan secara adil sesuai amanat pasal 18A ayat (2) konstitusi. Sebagai contoh, daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal tinggi dan memiliki indeks kemiskinan rendah di bawah rata-rata Nasional , seperti Kab. Berau dan Kab. Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, justru memperoleh alokasi DPIPD lebih tinggi. Dibandingkan daerah yang memiliki indeks fiskal rendah dan indeks kemiskinan di atas rata-rata Nasional, seperti Kab. Timor Tengah Selatan dan Kupang di Nusa Tenggara Timur. Begitu pula dengan alokasi DPF PPD yang disamaratakan.
Tabel . Perbandingan Alokasi DPIPD dan DPF PPD pada daerah Fiskal Tinggi dan Kemiskinan Rendah dengan Daerah Fiskal Rendah dan Fiskal Tinggi
No | Daerah | Indeks Fiskal | Indeks Kemiskinan | DPIPD | DPF PPD |
1 | Kab. Berau | 2.999 | 0.886 | 17,335,000,000 | 4,931,137,019 |
2 | Kab, Penajam Paser Utara | 2.935 | 0.698 | 24,175,000,000 | 0 |
3 | Kab Timor Tengah Selatan | 0.243 | 1.857 | 12,000,000,000 | 4,931,137,019 |
4 | Kab. Kupang | 0.271 | 1.460 | 4,835,000,000 | 0 |
Sumber : Data diolah dari APBNP 2010 dan PMK 113 dan 118 2010
- Negara Tidak Melaksanakan Jaminan Sosial
Pasal 23 ayat (1) UUD menyatakan APBN dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata “kemakmuran rakyat” salah satunya dilaksanakan melalui pasal 34 ayat(2) “Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan”.
Pada prakteknya APBN-P 2010 yang ditetapkan dengan UU No. 2 tahun 2010 tidak satu pun secara eksplisit mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan system jaminan social secara menyeluruh. Oleh karena itu, UU No. 2 tahun 2010 belum melaksakan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bertentang dengan konstitusi pasal 23 ayat (1) dan 34 ayat (2) konstitusi.
- Negara Tidak Bertanggungjawab atas Pelayanan Kesehatan
Pasal 23 ayat(1) UUD’45 secara eksplisit juga menyatakan “APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” kata sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pada dasarnya APBN harus memenuhi berbagai tanggung jawab yang diwajibkan oleh konstitusi seperti, Pasal 34 ayat 3 UUD’45 menyatakan “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Bentuk tanggungjawab Negara terhadap pelayanan kesehatan harus diwujudkan dengan kebijakan anggaran yang memadai. Sejalan dengan ini, pasal 171 ayat (1) UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan “Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji”.
Dari hasil perhitungan belanja kesehatan pada APBN-P 2010 dengan memasukan belanja gaji masih jauh dari amanat pasal 171 UU 36/2009. Porsi belanja Kesehatan pada APBN P 2010, sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 masih sebesar 2,2% dari total APBN-P 2010. Selain itu, porsi belanja kesehatan dalam APBN- P 2010 masih jauh dari memadai. Kurang 1% dari PDB. Dibandingkan dengan Philipina yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia, telah mengalokasikan belanja kesehatannya 3% dari PDB. Padahal, dalam belanja fungsi kesehatan terdapat 5 (lima) indicator MDGs ; Gizi buruk, Kematian Ibu, Kematian Anak, HIV AIDS dan penyakit menular, serta sanitasi air bersih.
- Alasan Pengajuan RUU APBN-P 2010 tidak sesuai dengan ketentuan pasal 162 ayat (1), (2), (3) dan (5) UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN, jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan. Pasal ini memberikan batasan perubahan signifikan, jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal 1% dibawah asumsi yang telah ditetapkan dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% dari asumsi yang telah ditetapkan. Sementara dari tujuh asumsi ekonomi makro yang dijadikan alasan perubahan APBN 2010, hanya harga minyak yang mengalami deviasi meningkat 12% dari USD/ barel 65 menjadi USD/barel 77. Pada postur APBN-P 2010, juga tidak mengalami perubahan signifikan. Selain peningkatan defisit, penerimaan perpajakan dan perubahan belanja Kementrian/Lembaga, masih berada dibawah standar minimal sebagai syarat perubahan anggaran. Argumen APBN 2010 sebagai APBN pemerintahan transisi, juga tidak sepenuhnya benar. Pada Nota Keuangan APBN 2010, tidak ada satu kalimat-pun yang menyatakan APBN 2010 sebagai APBN transisi. Bahkan, APBN 2010 mengakomodasi program prioritas Pemerintahan terpilih dan ditetapkan saat telah diketahui hasil Pemilu 2009. Periodenya saja yang berganti, tidak rezimnya.
- Badan Anggaran DPR RI melampaui kewenangan yang diatur dalam Pasal 107 ayat (1) point c; dan ayat (2) UU No 27 tahun 2009 tentang MD3.
Adanya tambahan anggaran Rp. 1,1 trilyun tanpa persetujuan 11 Komisi DPR RI, menunjukan Badan Anggaran melampaui kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan pasal 107 ayat (1) point c yang menyatakan tugas badan anggaran “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga” dan ayat (2) “Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi”.
- Pasal 16c UU No 2 tahun 2010 tentang APBN-Perubahan 2010 melanggar Pasal 15 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 159 UU No 27/2009 tentang MD3.
Penetapan APBN-Perubahan yang menyisakan tambahan anggaran Rp. 1,1 trilyun yang dibagi secara rata kepada masing-masing Komisi tanpa adanya rincian, telah melanggar kedua ketentuan di atas yang berbunyi “APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja”.
- Pemberian tenggang waktu kepada setiap komisi untuk menyelesaikan rincian belanja tambahan APBN-P 2010 sebesar Rp. 1,1 trilyun melanggar ketentuan pasal 37 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan UU ini, paling lambat 7 (tujuh) hari setelah persetujuan bersama RUU oleh DPR diserahkan kepada Presiden. Dengan pemberian batas waktu sampai dengan tanggal 15 Mei 2010 atau 10 hari kerja setelah pertsetujuan UU APBN P 2010 sebagaimana pasal 16c UU No 22 tahun 2010, maka UU APBN-P 2010 telah mengalami cacat prosedur yang diakibatkan oleh kelalaian Badan Anggaran DPR RI.
Dari 10 fakta-fakta APBN inkonstitusional, Koalisi CSO untuk APBN 2010 untuk Kesejahteraan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi :
- Membatalkan UU No. 2 tahun 2010 tentang APBN-Perubahan 2010 dan kembali ke APBN 2010
- Mengeluakan keputusan untuk pengaturan proporsi APBN 2011 agar sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Jakarta, 13 Oktober 2010
Koalisi LSM untuk Advokasi APBN Kesejahteraan
- ASPPUK (M Firdaus: 0818944921)
- FITRA (Cp: Yuna Farhan: 08161860874)
- IHCS (Cp: Taufiq: 08132876651)
- Perkumpulan Prakarsa (Cp: Ah Maftuchan : 0852 7777 4448)
- Perkumpulan Inisiatif (Donny Setiawan: 08122493974)
- Lakpesdam NU (Abdul Waidl : 08159878729)
- Publish What You Pay (Ridaya Laode Ngkowe: 08128037964)
Liputan media :
– Antaranews, MK Uji Materi UU APBNP 2010
– Vivanews, Menkeu Bantah APBN Bukan untuk Orang Miskin