Pada akhir September 2018 lalu, saya mengikuti pembelajaran yang bernama Sekolah Politik Anggaran yang disingkat Sepola. Perkumpulan Inisiatif menyelenggarakan pembelajaran ini dan dilaksanakan di Desa Cikidang, Lembang, Bandung Barat. Diikuti oleh 23 orang dari berbagai daerah, mereka berasal dari Subang, Kabupaten Bandung, Cirebon, Sumedang, Karawang, Purwakarta, Garut, Bogor dan Ciamis. Mereka merupakan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan masyarakat sipil.
Selama 5 hari belajar bersama mereka, membuat saya semakin sadar akan pentingnya membangun relasi dalam proses belajar. Sebab, semakin banyak kita bertemu dengan orang lain, maka semakin banyak pula ilmu yang bisa kita dapatkan.
Selama pelaksanaan Sepola, saya mendapatkan beberapa materi terkait sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian. Materi-materi tersebut menggambarkan garis besar kondisi pengelolaan ketiga sektor tersebut di tingkat nasional Indonesia.
Yang paling menarik adalah, kerangka berpikir peserta dibangun untuk kritis terhadap sisi pendapatan negara dari sana. Sehingga, kami belajar juga tentang anggaran negara dan politiknya.
Fasilitator Dadan Ramdan mengajak peserta membedah contoh kasus yang terjadi di salah satu sektor, yaitu perkebunan, di mana PTPN VIII di Subang didorong untuk menanam kelapa sawit. Namun, kami tidak hanya membedah tentang fakta dan realitanya.
Kami juga mencoba untuk membaca fenomena yang terjadi dari fakta dan realita tersebut. Fenomena tersebut dilihat dari segi anggaran keuangan, kebijakan dan juga kejadian di lapangannya sehingga kami memahami apa kaitan dari ketiganya. Ada persoalan tata kuasa, tata kelola dan juga praktek lapangannya yang tidak pro rakyat dan tidak transparan.
Kami tidak hanya berdiskusi dan mendapatkan pemaparan materi dari fasilitator, namun kami diberi beberapa media belajar yang menunjang pembelajaran secara langsung. Kami dituntun untuk membaca dan memahami media penunjang belajar tersebut dengan menggunakannya secara langsung, seperti menganalisis data APBD provinsi dan kota/kabupaten serta membuat matriks dari regulasi-regulasi yang ada tentang sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian.
Proses belajar Sepola dilakukan di dalam ruangan (in class) namun peserta tinggal di perumahan warga. Hal ini cukup membantu peserta dalam memahami materi yang diberikan, karena lingkungan tempat homestay peserta merupakan wilayah pertanian. Di sana terdapat berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pertanian.
Mata pencaharian warga di Desa Cikidang adalah bertani. Kami dapat melihat proses pembuatan bibit sayuran, proses penanaman, hingga lahan-lahan pertanian yang sedang dalam masa menunggu panen. Tidak hanya bertemu dengan para petani, kami juga dapat berinteraksi dengan beberapa bandar dan buruh tani yang ada di sana.
Setelah selesai mengikuti Sepola, saya merasa tercerahkan. khususnya wawasan saya tentang ketiga sektor yang menjadi inti materi Sepola ini. Karena merasa tercerahkan ini pula, saya merasa termotivasi untuk mencari tahu lebih lanjut. Saya juga tertantang melakukan investigasi lapangan langsung, dalam rangka membaca peta politik anggaran sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian di daerah saya sendiri.