Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat mengungkap banyak ketidakberesan dalam pengelolaan belanja hibah. Bukan hanya rekomendasi perbaikan, mereka secara khusus melayangkan teguran kepada TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) yang diketuai Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya Abdul Kodir.
Laporan setebal 352 halaman tersebut mengungkapkan, BPK menyoroti tidak transparannya proses pembahasan di TAPD. Hingga pemeriksaan berakhir, para auditor gagal memperoleh dokumen pendukung atas proses pembahasan ini. Padahal, pembahasan di TAPD inilah yang menjadi penentu penetapan daftar penerima hibah. Atas dasar itulah, BPK “menegur TAPD karena tidak mendokumentasikan proses penyusunan anggaran belanja hibah secara lengkap”.
Selain proses pembahasan di TAPD, BPK juga mengungkap persoalan di hampir semua proses pengelolaan dana hibah, mulai dari penganggaran, pertanggungjawaban, hingga pengawasan pemanfaatannya. Evaluasi proposal di tiap-tiap OPD (Organisasi Perangkat Daerah), misalnya, belum dilengkapi prosedur standar yang baku. Penerbitan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) juga belum ditopang sistem penatausahaan nomor register yang tertib.
BPK menyebut “proses evaluasi proposal hanya sebatas kelengkapan dokumen”. Rekomendasi diberikan tanpa melihat kegiatan dan biaya secara detail. Beberapa ajuan juga diketahui tetap lolos meski tidak mencantumkan nama kegiatan atau tanpa rincian detail dan jadwal.
Auditor BPK melakukan pemeriksaan dokumen secara uji petik. Mereka melakukan konfirmasi dan memintai keterangan di lapangan. Hasil pemeriksaan di Bagian Kesra, menemukan 84 dari total 761 NHPD yang tidak masuk dalam register NHPD Bagian Kesra. Pengawasan dan evaluasi terhadap pemenfaatan dana hibah juga diketahui nihil. Padahal tahapan setelah pencairan dana ini diamanatkan oleh peraturan yang menjadi payung hukum kebijakan belanja hibah daerah, yakni Permendagri Nomor 14 Tahun 2016 dan Peraturan Bupati Nomor 4 Tahun 2017.
Mendapati berbagai ketidakberesan dalam pengelolaan belanja hibah, BPK menyebut beberapa dampak yang mungkin terjadi. Salah satunya adalah potensi penyalahgunaan alokasi dana hibah yang jumlahnya relatif besar. Atau dalam bahasa laporan BPK : “hibah berisiko tidak tepat sasaran dan berpotensi disalahgunakan”.
Kepentingan Politik
Pemkab Tasikmalaya tergolong royal dalam membagikan dana hibah. Hal itu terlihat dari tingginya alokasi dana hibah di APBD Kabupaten Tasikmalaya setiap tahunnya. Ironisnya, dana hibah selalu menjadi catatan pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Nandang Suherman dari Perkumpulan Inisiatif mengatakan, di antara daerah lainnya di Priangan Timur, Kabupaten Tasikmalaya merupakan yang tertinggi dalam pemberian dana hibah.
Setidaknya hal itu terlihat dari APBD Kabupaten Tasikmalaya pada empat tahun terakhir. Tahun 2015, Pemkab Tasikmalaya mengalokasikan dana Rp 158,2 miliar untuk dana hibah. Dana itu diberikan kepada pemerintah daerah sebesar Rp 30 miliar, masyarakat Rp 58,5 miliar dan ormas Rp 70 miliar. Tahun 2016, Pemkab Tasikmalaya menganggarkan dana hibah sebesar Rp 148,6 miliar. Namun, realisasi penyaluran dana hibah itu mencapai Rp 192,9 miliar, Rp 189,2 miliar di antaranya diberikan kepada ormas.
Tahun 2017 pemerintah menganggarkan dana hibah sebesar Rp 143 miliar, Rp 138 miliar di antaranya diberikan kepada ormas, sedangkan Rp 5 miliar merupakan dana hibah untuk pemerintah. Pada LHP BPK disebutkan, realisasi dana hibah tahun 2017 mencapai 194,9 miliar. Dana hibah diberikan kepada ormas mencapai Rp 189,2 miliar. Tahun 2018, Pemkab Tasikmalaya menganggarkan dana hibah sebesar Rp 141,9 miliar. Sebesar Rp 137 miliar di antaranya diberikan kepada ormas.
Nandang mengatakan, sulit untuk tidak mengaitkan dana hibah dengan kepentingan politik. Sebab data menunjukkan, pemberian dana hibah kerap melambung pada tahun-tahun politik. Kabupaten Tasikmalaya menggelar pilkada pada 2015. Setelah itu, kepentingan politik itu tak mereda karena pada 2017 ada pemilihan Gubernur Jabar.
“Saya kira kalau dilihat tahun 2017 itu untuk money politics. Sedangkan tahun 2018 untuk ucapan terima kasih pada kekuatan politik yang memenangkannya,” ujar Nandang saat ditemui di Bandung, Kamis (8/11/2018).
Pada banyak kasus korupsi dana hibah yang sudah dibawa ke meja hijau, terbukti dana itu kerap menjadi sasaran politik transaksional. Hal itu terjadi karena diberikan langsung kepada penerima. Dengan lemahnya pengawasan, dana hibah menjadi sangat mungkin disalahgunakan. Aktornya tak hanya kepala daerah, tetapi juga menyeret anggota legislatif.
Modus penyalahgunaan dana hibah yang paling umum ialah pemotongan dana hibah. Pemotongan ini dilakukan setelah pencairan, sehingga secara administrasi tidak ada yang dilanggar. Pencairan dana sesuai dengan Naskah Perjanjian Dana Hibah (NPDH), namun dana yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya.
Selanjutnya, tinggal pihak penerima hibah harus membuat pertanggungjawaban penggunaan dana. Jika penerima dana melaporkan sesuai dengan dana yang diterima; penyelewenangan itu akan terlihat, tetapi berbeda jika penerima dana juga membuat laporan yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
“Biasanya pemerintah akan berlindung di balik LHP BPK yang Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” ujar Nandang. Padahal LHP BPK itu hanya menunjukkan secara administrasi penggunaan dana itu sudah didukung bukti-bukti. Tetapi tidak menjamin keseluruhan dana itu digunakan sebenar-benarnya sesuai proposal yang diajukan. (Tri Joko Her Riadi, Catur Ratna Wulandari/”PR”)***
Sumber : Pikiran Rakyat Cetak, 12 November 2018