Destinasianews – “Mau bagaimana kita, setelah UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dicabut MK (18/2/2015) sesuai keberhasilan pengajuan PP Muhamadiyah Dkk. Sementara ini kita pakai UU No ll/1974 tentang Pengairan. Bersegeralah, kita bersikap!”, demikian inti kata pembuka yang dikumandangkan Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar (12/3/2015) di markasnya Jl. Piit No. 5 Bandung. Hari itu diskusi kecil yang dihadiri Sosiolog UNPAD, Budi Rajab, beberapa orang dari LSM CADAS (Ciri Aspirasi dari Abdi Sanagara), Rizki Esfrada (Perkumpulan Inisiatif Bandung), Hardiansyah, Bagian Penanganan Kasus (LBH Bandung), Capung, Pegiat Lingkungan dari Kabupaten Subang, dan beberapa elemen masyarakat lainnya.
Menimpali ujaran Dadan, merujuk perlunya masyarakat mengkritisi kinerja pemerintah, yang dalam banyak kasus “nyata-nyata” tak berpihak kepada kepentingan rakyat, khususnya SDA:”Coba perhatikan PDAM mana di negeri kita yang berkinerja baik. Minimal mengurus distribusi air sesuai amanat pasal 33 ayat 2 UUD 1945. BUMN dan BUMD, malah ikut-ikutan jualan air kemasan seperti perusahaan swasta yang kini merajalela?!”.
Setelahnya, Budi Rajab secara komprehensif mengupas “kevakuman” ini dengan kritis, intinya kita perlu waspada. “Harus curiga selamanya kepada pemerintah. Ditengah kesempatan baik ini, kita kritisi dan kawal terus apa yang akan dilakukan kelak. Selama ini gerakan yang bersifat affirmative action, tak pernah dilakukan pemerintah. Keberpihakan pada Si Miskin sangat minimal …”.
Menurut Budi Rajab pula, peran ulu-ulu di pedesaan, dewasa ini nyaris hilang. Akibatnya, pembagian air lebih banyak bersifat “transaksional”. “Apalagi selama berlangsungnya UU No. 7/2004, masyarakat desa nyaris menjadi penonton dari para pemodal yang menguasai sumber air, hingga ke pedesaan. Wajibnya, UU SDA yang akan datang bisa berpihak 100% bagi kepentingan masyarakat miskin, utamanya. Jangan seperti sekarang, kita justru semakin tergantung pada air kemasan yang harus dibeli dengan mahal!”.
Potensi Kelima Terbesar di Dunia!
Sebagaimana diketahui negara Indonesia yang 2/3 bagiannya merupakan air, adalah negara ke-5 terbesar yang memiliki potensi sumber air terbesar di dunia! Ironinya, lembaga semacam PDAM dan BUMN yang dalam 70 tahun terakhir ini “ditugaskan negara” untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masih terbata-bata kinerjanya.”Yang kita dengar selama ini hanya rugi dan rugi melulu. Distribusi air bersih yang berkorelasi dengan tingkat kesehatan masyarakat masih menjadi impian. Distribusi air oleh lembaga berwenang ke kantong-kantong warga miskin, hanya omong kosong. Nyatanya, masih tetap berorientasi pada profit. Perhutani dan PDAM malah jualan air kemasan!”, jelas Nurhadi, Ketua Harian LSM CADAS.
Menimpali ujaran Nurhadi, pegiat lingkungan Rizki Esfrada memaparkan bahwa kelak UU SDA yang baru ruh-nya paling tidak harus seperti UU Agraria. “Ada kepastian hukum atas SDA. Peran pemerintah harus dominan yang berbasis kepentingan umum, bukan atas kepentingan swasta atau perorangan seperti sekarang”.
Paparan selanjutnya, Rizki mengurai banyaknya kasus pengelolaan air bersih yang tumpang tindih di lapangan:”Perhitungan dan perkiraan kebutuhan antar Bappeda dan PDAM untuk setiap daerah di Indonesia selalu berbeda. Tak ada harmonisasi antar mereka. Ini contoh kecil saja. Bagaimana membuat perencanaan untuk jangka panjang seperti diutarakan presiden Jokowi- JK . Setiap tahun 10 waduk hingga 2019 dibangun dengan anggaran Rp 30 T, demi akses air bersih 100%?”.
Lain halnya, Rahmi, pegiat lingkungan dari kota Sukabumi yang sedang menempuh study di UNPAD Bandung, Ia menelisik bahwa rujukan UU tentang SDA selama ini kerap masih bersandar pada UU Kolonialis Belanda tahun 1871, terakhir merujuk staadblaats 1936:”Pantas saja, soal penguasaan air ini dari UU SDA selalu berpihak pada kepentingan penguasa. Saatnya, kita kawal lahirnya UU SDA baru yakni berpihak pada kepentingan rakyat. Harus berbasis pasal 33 UUD 1945!”
Menurut Hardiansyah dan Capung, diskusi ini melalui Walhi Jabar yang mewadahi berbagai elemen masyarakat yang peduli pada lingkungan hidup, perlu melakukan langkah nyata.”Pertemuan hari ini sebagai permulaan, walaupun dikatakan terlambat, akan menyusun gerakan nyata di lapangan. Secara konseptual naskah akademik sedang disusun”, kata Dadan yang pada 22 Maret 2015 bertepatan peringatan Hari Air Sedunia, akan melakukan aksi menggugah masyarakat.
Air dan Kemasan Plastik
Secara terpisah destinasianews.com menghubungi Shahadat Akbar, pegiat lingkungan yang tergabung pada SBSI 1992 Jabar:”Secara konsep kami sambut perubahan atau peninjauan kembali UU SDA ini. Namun, kita harus waspada, jangan terlena. Siapa tahu pihak swasta diam-diam menyisipkan ayat baru dalam undang-undang ini. Ingat kasus regulasi soal tembakau yang nyusup di DPR baru-baru ini, kan (Prolegnas RUU 2009 – red)?!”.
Benang merah lain dari diskusi ini, untuk soal pencemaran lingkungan, sehubungan maraknya investasi air (minum) dalam kemasan, menyangkut polusi kemasan plastik.”Kalau musim kemarau, disini sungai Citarum penuh sampah plastik bekas minuman. Orang tak peduli, apalagi muncul para pemulung yang katanya mau didaur ulang. Kata saya sih, kemasan plastik ini banyak mudaratnya daripada manfaatnya”, tutur Dadang (45), Guru SD yang tinggal dekat bantaran sungai Citarum.
Menurut Dadang, tak sepantasnya membiarkan orang bekerja mengais-ngais sampah walaupun katanya itu bernilai ekonomi. Secara manusiawi di negara yang menjunjung kemanusiaan, mudah ditemukan orang yang “bekerja di tempat tak layak”. Yang lebih memprihatinkan, maraknya fenomena AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), semakin banyak orang membuang kemasannya. “Tokh, banyak orang koq yang memulungnya?!”.
Menyoal polusi AMDK, para pengusaha yang melibatkan investor raksasa dari negara luar, seakan dimanjakan. Berbeda dengan di negara maju, gerakan massal menentang polusi AMDK ini, kini terus bergulir. Tersebab itu, para investor raksasa kini makin gencar membidik negara berkembang yang permisif terhadap polusi plastik. “Semoga dalam undang-undang SDA yang baru nanti soal sampah plastik minuman kemasan ini diperjelas kedudukannya”, tutup Awey, pegiat lingkungan dari LSM CADAS yang selama ini amat galau dengan fenomena ini. (HS/dtn)
Sumber : http://destinasianews.com/index.php/framing-destinasia/359-walhi-jabar-kritisi-kevakuman-pencabutan-uu-sda-no-7-2004-oleh-uu-pengairan-no-11-1974 (akses 3/30/2015 12:12:14 PM)