“Dukungan swasta untuk membangun kota memang dibutuhkan, tetapi yang tidak kalah penting bagaimana menggunakan APBD secara efektif. Tahun 2014 saja sisa anggaran Kota Bandung yang tidak berhasil dibelanjakan mencapai Rp 1,2 triliun dari total kebutuhan belanja Rp 5,7 triliun atau hamper senilai dengan total pendapatan pajak daerah…”
Status Facebook itu diunggah Donny Setiawan, 13 Agustus 2015 pagi. Ia menautkan akun Wali Kota Bandung Ridwan Kamil di ujung kalimat.
Donny menyertakan berita di salah satu situs yang memuat pernyataan Ridwan dua hari sebelumnya. Di sela-sela peninjauan operasi pasar daging sapi di Pasar Kosambi, Ridwan berbicara soal skema public private partnership (PPP) sebagai solusi keterbatasan anggaran yang dimiliki pemkot.
Hingga pertengahan September, ada 25 komentar di status Donny. Salah satunya dari Ridwan Kamil pada hari yang sama pembuatan status itu. Ridwan menyatakan, sisa anggaran banyak berasal dari penghematan lelang-lelang proyek. Rata-rata penawaran 80 persen. “Cek data sebelum berkesimpulan,”tulis Ridwan.
Donny, yang juga Ketua Badan Pelaksana Harian Perkumpulan INISIATIF, membalas komentar itu. Setelah menyampaikan rasa terima kasih kepada Ridwan Kamil, ia meyakinkannya bahwa komentarnya didasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK. Ia mengutip beberapa kalimat di halaman 20.
“Penyerapan belanja daerah Pemkot Bandung 77,58 persen. Secara umum disebabkan keterlambatan penetapan perubahan APBD Kota Bandung 2014 yang baru ditetapkan 5 Desember 2014,” kutip Donny.
Kritik Donny menyasar niat wali kota untuk mengandalkan pendanaan proyek-proyek besar dari pihak swasta. Namun, di level internal masih ditemukan ketidakoptimalan pengelolaan anggaran. Ia menyebut kasus proyek pengadaan senjata oleh Dinas Perhubungan yang ramai diberitakan dua pecan lalu.
“Selain masih besarnya anggaran tak terbelanjakan, mencuatnya kasus (lelang senjata) itu menunjukkan masih banyaknya bolong manajemen dalam penganggaran. Wali Kota mestinya mencermati secara detail setiap anggaran untuk memastikan semua sesuai dengan visinya membangun kota,” tutur Donny ketika dihubungi, Selasa (22/9/2015) sore.
Donny tidak mengharamkan kemitraan dengan pihak swasta. Namun, ia meminta pemkot tidak melulu mengambinghitamkan keterbatasan APBD ketika pada saat bersamaan pengelolaannya ternyata belum optimal.
PPP merupakan skema pembiayaan pembangunan kota yang banyak disebut Ridwan Kamil dalam setahun belakangan. Ia mengambil inspirasi dari kota-kota di Negara maju yang pernah dikunjunginya.
“Pola PPP memungkinkan sebuah kota membangun beragam infrastruktur besar, mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga jalan raya, secara serentak. Dengan demikian, dampaknya langsung terasa oleh masyarakat. Tidak seperti pola lelang sekarang ini yang laju kecepatannya amat terbatas disebabkan terbatasnya kemampuan APBD,” ujar Ridwan.
Untuk mengeksekusi pembangunan infrastruktur secara serentak itulah, menurut Ridwan, pemkot menggandeng swasta sebagai penyedia dana. Kewajiban pemkot nantinya adalah mengangsur kepada pihak swasta tersebut. “Bulan Oktober nanti dijadwalkan akan digelar lokakarya internasional perihal PPP ini,” ucapnya.
Sebelum PPP, pemkot sudah menggenjot alternative pendanaan lainnya disebut sumbangan pihak ketiga. Ini semacam corporate social responsibility yang digelontorkan ke pemkot sehingga tercatat sebagai penambahan asset. Dalam dua tahun belakangan, yang paling mencolok praktik ini diterapkan dalam revitalisasi beberapa taman kota, termasuk Alun-Alun Bandung.
Berdasarkan data di Bagian Perekonomian Pemkot Bandung, sepanjang 2014 pemkot telah mengumpulkan sumbangan pihak ketiga sebesar Rp 18 miliar. Pada 2015, per Juli, jumlah sumbangan sudah mencapai Rp 24 miliar. Mayoritas sumbangan tahun 2015 dikaitkan dengan penyelenggaraan Peringatan Konferensi Asia Afrika.
Bukan barang baru
Skema PPP sebenarnya bukan barang baru di Bandung. Dua proyek zaman Wali Kota Bandung Dada Rosada, yakni pengelolaan usaha di kawasan Babakan Siliwangi dan Pebangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dibuat dalam konteks turunan aturan PPP. Namun, kedua proyek itu mandek.
Menurut Donny, konsep pembangunan skala besar secara serentak seperti penjelasan Ridwan Kamil, belum ada referensinya di Indonesia. “Orientasi swasta adalah bisnis, laba. Jangan sampai pemerintah kalah kuat dan nantinya disetir swasta,” katanya.
Ditegaskan Donny, apa pun skema pendanaan yang dipilih pemkot, yang harus jadi pertimbangan utama ialah kemanfaatan bagi warga. “Apakah skema-skema itu bermanfaat bagi mereka (warga) atau justru kontraproduktif,” ucapnya. (Tri Joko Her Riadi/”PR”)***
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Cetak, 23 September 2015