Jakarta (SIB) – Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memanfaatkan sisa waktu jabatan yang ada untuk menyelamatkan Indonesia agar tidak tenggelam karena timbunan utang yang kini mencapai lebih dari 2.600 triliun rupiah itu. Untuk itu, KPK mesti segera melakukan tindakan hukum terhadap aktor utama atau godfather pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi sumber dari segala sumber korupsi di Tanah Air.
Jika tidak, bangsa Indonesia akan terus bermasalah dengan keuangan negara yang selalu defisit akibat kewajiban pembayaran utang yang setiap tahun kian menggunung. Dengan jumlah utang sebesar itu, setiap penduduk, termasuk bayi yang baru lahir, rata-rata mesti menanggung utang 10,32 juta rupiah. Pengamat hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, I Wayan Titib Sulaksana, mengemukakan hal itu saat dihubungi, Kamis (22/1).
“Masa jabatan mereka (komisioner KPK) tidak sampai setahun lagi. Kalau hanya untuk mengungkap dugaan gratifikasi calon Kapolri tidak terlalu istimewa karena itu sebenarnya juga efek dari skandal BLBI. KPK mesti memprioritaskan untuk mengungkap korupsi BLBI,” kata Titib Sulaksana. Sisa waktu sebelas bulan bertugas menjadi pemimpin KPK mesti dimanfaatkan secepat mungkin untuk mengungkap kasus BLBI. Sebab, para perampok BLBI masih memunyai kemampuan untuk mengatur-atur oknum penegakan hukum dengan segala cara.
“Kalau masih ada oknum penegak hukum yang berkolusi dengan pengemplang BLBI, kehancuran hukum semakin dekat. Indonesia pun akan tenggelam dalam utang karena harus menutupi kewajiban yang ditinggalkan pengemplang BLBI tersebut,” jelas Titib. Skandal BLBI yang penyelesaiannya dimanipulasi menjadi utang negara melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sebesar 640 triliun rupiah itu disebut-sebut menjadi biang dari membengkaknya utang pemerintah.
Setiap tahun hingga jatuh tempo pada 2043, pajak rakyat dalam APBN dialokasikan untuk membayar bunga obligasi rekap. Rakyat juga mesti menutup pokok obligasi rekap itu saat jatuh tempo. Utang BLBI beserta bunga-berbunganya menjadi beban seluruh rakyat yang tidak menikmati fasilitas itu. Akibatnya, anggaran negara tiap tahun makin minim alokasi untuk pembangunan karena tersedot untuk membayar utang obligor pengemplang BLBI itu.
Tanpa kebijakan yang radikal, utang Indonesia tidak akan terlunasi dan bakal menjadi beban hingga anak-cucu. Pasalnya, pemerintah selama lebih dari 16 tahun tidak pernah mampu mengurangi stok utang. Bahkan, untuk membayar bunga utang saja, pemerintah harus menarik utang baru. Dengan demikian, Indonesia kini telah masuk dalam jebakan utang.
Sebelumnya, peneliti Mubyarto Institute Yogyakarta, Tarli Nugroho, menilai kasus korupsi BLBI merupakan sebuah kejahatan luar biasa yang membuat keuangan negara menjadi bangkrut karena tersandera selama 16 tahun untuk membiayai kewajiban obligor BLBI. Akibatnya, negara kehilangan modal dari dana internal untuk membiayai pembangunan ekonomi dan menyejahterakan rakyat.
Bergantung Kemauan Sementara itu, pengamat anggaran dari Perkumpulan Inisiatif Bandung, Donny Setiawan, mengatakan perlu keberanian besar untuk mengusut tuntas korupsi BLBI. Banyaknya keterlibatan berbagai pihak membuat kasus BLBI seolah jalan di tempat. “Penuntasan kasus ini bergantung keberanian Presiden Jokowi dan KPK,” ujar dia. Donny menyatakan selama ini KPK hanya mengusut para pelaku korupsi BLBI yang kecil- kecil, sedangkan kelompok konglomerat kaya dan pejabatnya belum ditindak, termasuk pengambil kebijakan. (KJ/ r)
Sumber : http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=44200 (akses 28/01/2016 16:49)