CIHIDEUNG – Ditengah pesatnya pembangunan di Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah lainnya di Priangan Timur tidak diimbangi dengan penurunan ketimpangan di tengah masyarakat.
Pasalnya, dari data yang dilansir secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 ketimpangan di Kota Tasikmalaya tembus diangka 0,49 persen, meningkat dibanding tahun 2014 yakni 0,31 persen. Alhasil angka tersebut menobatkan Kota Tasikmalaya berada di posisi tertinggi kesejangan sosial di Jawa Barat karena secara Nasionalprosentase ketimpangan berada diangka 0,42 persen.
“Dari data yang saya dari BPS, ini mencengangkan. Gegap gempitanya pembangunan di Kota Tasik tidak signifikan menurunkan ketimpangan secara progresif,” ungkap Pengamat Kebijakan dari Perkumpulan Inisiatif Nandang Suherman kepada Radar, kemarin (26/10).
Hal tersebut menandakan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak merata sehingga terjadinya suatu ketimpangan. Menurutnya, maka wajar apabila berdampak terhadap angka kemiskinan yang mencapai 15 persen. Kualitas hidup masyarakat pun, terutama sanitasi relatif menurun, ditandai dengan tingginya gizi buruk di angka 113 orang. “Pembangunan yang selama ini dilakukan pemkot cukup berhasil dalam menumbuhkan ekonomi, namun tidak berhasil dalam memberi pemerataan pendapatan. Karena indeks gini itu semakin mendekati angka 1 itu ketimpangan semakin mutlak, semakin mendekati angka 0 itu semakin tipis ketimpangannya,” beber dia.
Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu melakukan kebijakan revolusioner yakni pembatasan kepemilikan lahan. Karena implikasi dari pembiaran pemilik modal untuk menambah lahan cukup serius. Salah satunya lahan produktif dibangun menjadi kawasan infrastruktur yang mengangkat nilai jual tanah cukup tinggi.
Sehingga, kata dia, menjadi penghasilan akumulatif bagi pemilik tanah saat lahan tersebut dibeli pemerintah untuk dijadikan lokasi pembangunan. “Contohnya itu Jalan Mangin. Mengangkat harga tanah di wilayah tersebut secara luar biasa,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Nandang, pemkot kedepan harus berani membatasi masifnya toko modern yang melumpuhkan toko atau warung yang dikelola secara pribadi oleh warga. Kemudian terpuruk dan menjadi pekerja dengan penghasilan relatif murah. “Saya menyimpulkan, tidak cukup membangun fisik saja tetapi harus dibarengi kebijakan yang berani,” tuturnya.
Hal ini, kata dia, menjadi ironi bagi pembangunan. Apalagi tidak dibarengi dengan kebijakan yang berani mendistribusikan hasil pembangunan secara fair, nantinya dikhawatirkan timbul keresahan social dan terjadi konflik. “Jangan terjebak di ornamen yang bersifat fisik saja, tetapi kualitas hidup rendah dan memburuk harus disikapi secara serius,”terang pria yang aktif menyoroti kebijakan anggaran tersebut.
Nandang menambahkan digenjotnya infrastruktur yang selama ini dilakukan, berasumsi memperlancar perpindahanan barang dan jasa hasil produksi masyarakat seperti petani atau hasil kerajinan memang cukup membantu dan berhasil. Tetapi apabila kepemilikan tanah tidak di rem, maka tetap ketimpangan akan tinggi. “Warga juga harus paham tanah itu bukan alat komoditas dari sisi ekonomi saja. tapi ada fungsi-fungsi lain. Dan pemerintah harus tegas apabila suatu kawasan akan dibangun pemerintah, tidak boleh terjadi kepindahan kepemilikan. pemerintah harus peka,” tandasnya.(igi)
Sumber : https://www.radartasikmalaya.com/berita/baca/12962/kepemilikan-lahan-dan-toko-modern-di-kota-tasik-harus-dibatasi.html (akses 11/6/2016 8:22:25 AM)