Gubernur Jawa Barat yang kini telah lengser dilaporkan ke KPK atas dugaan nilai dan bunga deposito APBD yang dinilai tak wajar. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito di bank umum, telah jadi praktik manajemen kas daerah yang sering jadi sorotan.
Dua lembaga asal Bandung melaporkan Gubernur Jawa Barat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir Mei lalu. Mereka menemukan kejanggalan atas deposito uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat periode 2016 dan 2017.
Kasus deposito sebagian uang negara/daerah di bank umum di Jawa Barat, seolah mengungkit situasi pada 2011 seperti terekam dalam Detikcom. Saat itu, laporan pertanggungjawaban Gubernur Ahmad Heryawan menyatakan dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp2,449 triliun.
Fraksi Demokrat DPRD Jawa Barat dalam pandangannya saat paripurna pada Selasa (12/7/2011) tersebut, meminta penjelasan Pemprov Jabar tentang SiLPA yang mencapai seperempat dari total APBD 2010 Jawa Barat senilai Rp9,8 triliun lebih.
Sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) mempertanyakan sebagian dana SiLPA sebesar Rp1,5 triliun yang ternyata didepositokan di Bank Umum Daerah (BUD), di tengah lemahnya kinerja Pemprov.
Temuan ini berdasarkan salinan rekening koran per 31 Desember 2010 sampai dengan pukul 00.00 WIB dari Giro Bank BJB Cabang utama Bandung, dengan nomor rekening 001.0210.2383.61 bernilai Rp942 miliar, serta sertifikat deposito Rp1,5 triliun.
Menanggapi pandangan F-PDIP DPRD Jawa Barat, penjabat Kepala Biro Humas Protokol dan Umum Pemerintah Provinsi Jawa Barat kala itu, Ruddy Gandakusumah, menyatakan deposito Rp1,5 triliun oleh Pemprov Jabar di BUD merupakan strategi manajemen kas daerah, dan telah dilakukan sejak lima tahun sebelumnya.
“Deposito SiLPA ini dilakukan dalam melaksanakan strategi manajemen kas dengan memanfaatkan kelebihan saldo kas minimal tanpa mengganggu likuiditas kas daerah. Namun, menghasilkan jasa (bunga) yang lebih menguntungkan untuk PAD (pendapatan asli daerah),” kata Ruddy dalam Antaranews (14/7/2011).
Ia menambahkan, sebagian dana SiLPA dalam rekening giro dialihkan ke dalam bentuk deposito on call (DoC) bulanan, yang dapat diperpanjang secara otomatis dan dapat dicairkan setiap saat. Ruddy beralasan, rekening giro hanya memberi bunga sebesar 2,5 persen, dibanding deposito yang bunganya bisa mencapai 6-10 persen per tahun.
Langkah ini, menurutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 33 dan 37 dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39/2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Beleid itu membolehkan bendahara umum daerah menempatkan uang pada bank sentral/umum yang menghasilkan bunga/jasa giro dengan tingkat bunga yang berlaku.
“Jadi di dalam aturan ini juga tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa deposito SiLPA harus atas persetujuan DPRD. Daerah lain juga banyak yang melakukan hal serupa termasuk Depdagri,” ujarnya ketika itu.
Cerita lain datang dari Kabupaten Karawang. Seperti dilansir Radar Karawang(14/1/2015), pemda senang dengan capaian pendapatan asli daerah (PAD) lewat bunga deposito. Dengan mendepositokan uang kas daerah sebesar Rp350 miliar, dalam setahun Pemerintah Kabupaten Karawarang bisa meraup Rp23 miliar.
Kabid Pembendaharaan DPPKAD Kabupaten Karawang saat itu, Maksum Hambali, pernah membeberkan bahwa pendapatan itu diperoleh dengan cara mendepositokan sebagian uang APBD sebesar Rp350 miliar di dua bank berbeda; di Bank BJB Rp300 miliar, dan Bank BRI Rp50 miliar.
Kala itu suku bunga di Bank BRI mencapai 8,5 persen, sedangkan di Bank BJB sebesar 7,5 persen. Setelah uang kas daerah itu didepositokan ke BRI, Bank BJB pun menaikkan suku bunga menjadi 8,5 persen.
“Efek penempatan ke BRI, Bank BJB ikut menaikkan bunga deposito jadi 8,5 persen. Dalam hal ini pemda diuntungkan,” urainya kepada Radar Karawang. “Sungguh angka yang luar biasa, dapat membantu kegiatan belanja pemerintah daerah, ” imbuhnya.
Strategi menajemen kas inilah yang membuat pemerintah daerah dapat meraup PAD hingga Rp23 miliar per tahun. Target bunga deposito di dua bank yang semula Rp16 miliar per tahun, realisasinya diklaim naik karena praktik tersebut.
Tarik ulur batas remunerasi atas uang negara
Persaingan antarbank memperebutkan uang negara/daerah melalui besaran bunga, jadi sorotan Pemerintah Pusat. Menteri Keuangan pada 2016, Bambang Brodjonegoro, menengarai praktik tersebut menjadi salah satu pemicu tingginya bunga kredit.
Bambang mengungkapkan, hingga Desember 2015 dana pemda yang disimpan di bank mencapai Rp99,7 triliun. Besarnya anggaran membuat perbankan berlomba-lomba memberikan suku bunga deposito tinggi untuk menarik minat pemda.
“APBD itu kalau dikumpulkan besar. Jumlah dana pemda di sektor perbankan tidak semua di BPD (Bank Pembangunan Daerah), hanya 30 persen. Sisanya ada di bank yang tingkat bunga tinggi,” ujarnya saat itu seperti dilansir Liputan6.com (18/2/2016).
Karena bank memberikan suku bunga deposito yang tinggi, dampaknya suku bunga kredit juga naik tinggi agar bank bisa mendapatkan keuntungan dari selisihnya. Hal tersebut dinilai mempersulit sektor riil memperoleh kredit.
Kementerian Keuangan lalu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/PMK.05/2016 tentang perubahan atas PMK No.3/PMK.05/2014 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum tertanggal 29 April 2016. Beleid ini mengatur batasan bunga atas dana pemerintah yang disimpan di perbankan.
Bunga deposito dari dana milik pemerintah tidak boleh lebih tinggi dari BI Rate yang saat itu disebut mencapai 6,75 persen. Dana milik pemerintah dimaksud, termasuk deposito perusahaan BUMN, pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga.
Pada era Sri Mulyani, aturan penempatan uang negara di bank umum kembali diperbarui. Mekanismenya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.53/PMK.05/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No.3/PMK.05/2014 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum.
Beleid yang berlaku sejak 18 April 2017 itu menghapuskan batasan remunerasi maksimal (termasuk dalam bentuk bunga) atas penempatan Uang Negara dalam Rupiah pada Bank Umum Mitra Penempatan Uang Negara (BUMPUN) yang sebelumnya dipatok sebesar BI rate.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu dalam Kumparan mengatakan batas maksimal tidak diatur lagi agar penawaran dari bank umum mitra pemerintah lebih kompetitif berdasarkan suku bunga pasar, dan dari sisi remunerasi terhadap uang negara yang ditempatkan.
Adapun penempatan uang negara/daerah di perbankan biasanya digunakan untuk melakukan transaksi keuangan daerah, misalnya pembayaran kontrak dengan rekanan, pembayaran gaji pegawai, pembayaran atas pengadaan barang/jasa, penghimpunan pendapatan daerah, dan sebagainya.
Setiap pemda wajib memiliki Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) sebagai sarana transaksi keuangan. Simpanan itu bisa dalam bentuk giro, tabungan, atau deposito. Simpanan Pemda di perbankan tidak selalu berarti daerah memiliki dana “menganggur”. Dana seperti ini terjadi bila simpanan tersebut mencapai jumlah yang tidak wajar.
Permenkeu No. 18/PMK.07/2017 menjelaskan, uang kas daerah dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar adalah posisi kas saldo positif setelah dikurangi perkiraan Belanja Operasi, Belanja Modal, Transfer Bagi Hasil Pendapatan, dan Transfer Bantuan Keuangan untuk kurun waktu tiga bulan berikutnya.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/meraup-untung-dari-bunga-deposito-lewat-apbd (akses 14 Juni 2018)