BANDUNG, eljabar.com – Berdasarkan data versi laporan keuangan Kementrian Keuangan, kumulatif APBD Pemprov. Jabar yang didepositokan tahun 2016 sebesar 44,9 trilyun rupiah dan tahun 2017 sebesar 47,6 trilyun rupiah. Sedangkan pendapatan bunga dari deposito tahun 2017 menurut versi laporan Keuangan ke Kementrian Keuangan sebesar 844,6 miliyar rupiah.
Bunga deposito APBD cukup signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu komponen pendapatan dalam APBD.
Namun pengelolaan deposito APBD yang tertutup memiliki resiko tinggi terhadap adanya praktek korupsi/deviasi. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk suap, gratifikasi dan kickback.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Beyond Anti Corruption dan Inisiatif terhadap deposito APBD Pemprov Jawa Barat tahun anggaran 2016 dan 2017, menduga adanya unsur korupsi dalam praktek pengelolaan deposito APBD tersebut.
“Iya kami menduga ada unsur korupsi dalam praktek pengelolaan deposito ini, baik dari unsur pemerintah daerah maupun pihak bank umum tempat dana itu didepositokan. Risiko korupsi bisa dalam bentuk suap, gratifikasi atau kick back,” jelas Dedi Haryadi, salah seorang penggiat Beyond Anti Corruption, kepada elJabar.com, Rabu (6/6).
Deposito APBD menurut Dedi Haryadi, memang dibolehkan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 53/PMK.05/2017 tentang Perubahan Kedua Permenkeu No. 3/PMK/05/2014 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum.
“Deposito boleh dan legal. Pendapatan dari bunga, masuk sebagai pendapatan daerah. Bukan hanya bunga, kalau dapat hadiah dan lain-lain juga masuk sebagai aset, pendapatan Pemda,” ujar Dedi.
Untuk melihat lebih jauh kepastian adanya suap, gratifikasi dan kickback pada praktek deposito APBD Pemprov Jabar, Dedi Haryadi dan rekan-rekannya melalui lembaga Beyond Anti Corruption dan Inisiatif, melaporkan dugaan tersebut kepada KPK.
“Penelitian ini punya keterbatasan tidak bisa melihat lebih jauh apakah suap gratifikasi dan kick back itu terjadi dan dalam bentuk apa. Oleh karena itulah kami melaporkan hasil studi ini ke KPK. KPK punya kewenangan, keahlian dan instrumen yang lebih dari memadai untuk menginvestigasi lebih jauh,” jelasnya.
Sementara itu, dua aktor utama dalam pendepositoan APBD menurut Dedi Haryadi, berada pada Kepala Daerah/Gubernur dan Bendahara Umum Daerah.
“Ada dua orang atau jabatan yang paling bertanggungjawab dalam praktek pengelolaan deposito ini, yaitu gubernur dan bendahara umum daerah yang juga merangkap sebagai Kadis keuangan dan aset daerah. Di Kota tentu walikota dan bendahara umum daerah/kadis keuangan dan aset daerah,” terangnya.
Nilai deposito yang berjumlah trilyunan rupiah ini, menurut Dedi Haryadi, pasti ada insentif yang lain. Permasalahannya menurut aktivis yang konsen menyoroti masalah APBD ini, kemana dan siapa yang menjadi penikmat insentif dari deposito APBD itu.
“Dugaan kami, karena depositonya trilyunan pasti dapat insentif yang lain. Nah, kemana dan siapa penikmat insentif?” pungkasnya. (Muis)
Sumber : https://eljabar.com/2018/06/07/dugaan-penyimpangan-deposito-apbd-pemprov-jabar-dilaporkan-ke-kpk/ (akses 7 Juni 2018)