Surabaya, Bhirawa – Rencana pemerintah yang akan memberlakukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada per 1 Januari 2014 dikhawatirkan akan menjadi alat politik kekuasaan untuk memenangkan Pileg maupun Pilpres yang diselenggarakan pada 2014. Karenanya, Perkumpulan Inisiatif (PI) menuntut kepada pemerintah untuk menunda pelaksanaan UU SJSN.
Direktur Eksekutif PI, Donny Setiawan menegaskan sesuai dengan UU SSJN, pada tahun 2014 pemerintah akan memulai mengimplementasikan pelayanan jaminan kesehatan universal yang dikelola BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial).
Sementara di satu sisi BPJS rentan dijadikan sebagai alat manuver politik oleh beberapa kandidat Pilpres dan Pileg, khususnya bagi partai penguasa.
“Jujur saya melihat BPJS rentan dengan penyelewengan sumber daya. Bisa saja, masyarakat diberi iming-iming mendapatkan kartu semacam jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) jika memilih dan mencoblos di A misalnya,” tegasnya di sela-sela annual workshop pengawalan jaminan kesehatan, Kamis (27/9). Untuk itu, pihaknya akan mendesak pemerintah untuk mengundur pelaksanaan UU SJSN hingga 2015. Pasalnya, dalam masalah ini pihaknya melihat ada sebuah pemaksaan. Padahal di satu sisi anggaran yang dialokasikan untuk jaminan kesehatan belum jelas besarannya. Termasuk anggaran yang harus disiapkan oleh masing-masing pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Ditambahkannya, setidaknya ada enam alasan kenapa pelaksanaan UU BPJS perlu ditunda. Pertama, penyusunan road map jaminan kesehatan BPJS tidak transparan, sehingga masyarakat tidak mengetahui progres persiapannya. Kedua, tahun 2014 berbarengan dengan agenda Pileg dan Pilpres, sehingga rentan dijadilan alat manufer politik beberapa kandidat Pileg dan Pilpres. Ketiga, lanjut Donny, akurasi data kelayakan data kepesertaan validasinya diragukan dan tidak bisa diakses publik. Keempat, komitmen pembiayaan oleh pemerintah belum jelas. Kelima, pemda belum siap mendukung unit pelayanan kesehatan. “Fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas itu menjadi tanggungjawab pemda tapi kemampuan anggarannya terbatas. Biaya pembangunan fasilitas layanan kesehatan nilainya bisa lebih besar daripada premi ansuransi,” tegas pria asli Bandung ini. Keenam, rekrutmen angota badan pengelola jaminan kesehatan rentan manuver dan money politics. Alasannya, anggaran yang akan dikelola badan tersebut nilainya mencapai Rp30 triliun pada tahun 2014, sehingga rentan penyelewengan. Paling tidak, lanjutnya UU SJSN bisa direalisasi setelah pemerintah menyiapkan empat hal, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana, keterjangkauan layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, kelayakan layanan kesehatan dan kehandalan tenaga medis yang tersebar di seluruh daerah.
“Hasil rekomendasi penundaan pelaksanaan UU BPJS ini akan kami sampaikan secara resmi kepada Presiden, Ketua DPR RI, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan Menteri Kesehatan,” pungkasnya.
Direktur BPJKD Jatim dr Catur Priambudo Mars mengungkapkan, jika SJSN ini benar-benar akan dilaksanakan 2014, maka BPJS seharusnya tidak bermain dengan single player. Artinya, BPJS dapat membentuk cabang di daerah atau provinsi-provinsi di Indonesia. Secara aturan, klausul semacam itu diperboleh dalam undang-undang BPJS.
“Saat ini kita sedang berencana melakukan koordinasi dengan BPJKD di seluruh Indonesia untuk menyampaikan pendapat ini (pembentukan BPJSD). Karena program semacam ini, pada praktiknya sama saja dengan apa yang dilakukan oleh BPJKD, dan kita sudah melakukan itu terlebih dulu daripada BPJS,” tutur dr Catur, Kamis (27/9).
Dalam SJSN, jaminan masyarakat akan dibedakan dalam dua macam yaitu mandiri dan subsidi iuran. Untuk jenis subsidi iuran itulah yang akan mengcover seluruh masyarakat miskin dengan pembayaran premi yang ditanggung oleh subsidi Negara.
Persoalannya, data yang digunakan oleh BPJS dalam melaksanakan SJSN subsidi iuran berasal dari data Tim Nasional Percepatan dan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) masih mengandung banyak persoalan. Selain banyak masalah, data BPJS itu hanya mampu mengcover 33 persen penduduk Jatim.
“Tak jauh beda, BPJS ini hanya mengambil alih Jamkesmas yang dulu ditangani Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK). Jadi data yang digunakan pun sama dengan data Jamkesmas yang saat ini ada. Masalahnya, data itu masih belum bisa dikatakan valid,” ungkap dr Catur. [cty.tam]
Sumber : Thursday, 27 September 2012 22:25 Media Online Bhirawa (http://www.harianbhirawa.co.id/utama/53287-pelaksanaan-uu-sjsn-rawan-jadi-alat-politik, akses 9/28/2012 4:22 PM)